THE RIILYANT


Riilyant berjalan di sebuah tepi jurang tak bersuara.  Di saat itu, hatinya yang lembut akan ketulusan cintanya kepada impiannya.  Dilepaskan, ditelan kebisuan.  Jurang itu ikhlas mengatakan “Aku akan menjadi bagian hatimu, karena kau tau di sinilah aku selalu mengagumimu”. 
Riilyant nyata dalam hidup…..


SELAMAT TINGGAL JOGJA

Sore ini aku jadi berangkat ke Wamena.  Bujukan Radit agar aku kuliah di kota sendiri Cuma aku tanggapinya dengan cibiran bibir.  Aku amat teguh dengan kemauanku.  Meskipun ia tau bahwa aku akan kehilangan jika aku kuliah di Wamena, aku toh tidak mungkin mengurungkan niat dan cita-citaku.
Seisi rumah –Papa, Mama, Nenek, Kakek, Tante, Om- menampakkan kesedihan yang amat-sangat atas keberangkatanku, macam-macamlah kata dan pesan mereka.  Tampak sekali bahwa mereka begitu sedih karena air mata selalu mengalir di pipi mereka dengan muka sedikit layu dan kusut.  Kulihat beberapa di antara mereka.  Tapi segitu ramainya rumah ini, aku masih merasa ada yang kurang.  Tak kulihat sosok laki-laki yang biasanya jahil dengan aku.  Yah.  –Adek- dimana dia?! Mama sepertinya tau kalau aku sedang mencarinya.  Entah ada di mana dia saat ini. Tapi biarlah.  Biarkan Adek asyik main dengan teman-temannya.  Karena aku tau, dia pasti tidak mau melihatku menangis saat berpisah dengannya.  Si jahil.  Yang selalu buat aku jengkel dengan tingkah-tingkah konyolnya.
“Cha, jangan lupa ya?”
“Novel My Day’s?! beres.  Nanti kalau udah selesai langsung aku kirim lewat tiki.”
Wah, semua punya pesan sendiri-sendiri.  Lisa sahabatku sejak kecil yang tak pernah lupa untuk menanyakan novel terbaruku.  Mama dan Papa juga sudah mengajukan beberapa pesan penting.  Apalagi Mama.  Huh, yang mesti hati-hati lah, giat belajar lah, jangan banyak main lah, jangan lupa sholat lah.  Dianggapnya aku itu masih anak kecil yang perlu nasihat semacam itu.  Tapi menurutku itu penting juga sih.
Oh My God!! Adek pulang.  Masuk rumah dengan mata memerah.  Tanpa permisi dan langsung masuk kamar tanpa menguncinya.  Kulihat, dia pura-pura membaca buku pelajaran yang sebenarnya tak lebih dari alat untuk menyembunyikan matanya yang merah karena habis menangis.  Aku mengerti perasaannya yang mungkin sama dengan apa yang aku rasakan saat ini.  Aku tak bisa membayangkan betapa sepinya tanpa Si Kunyuk yang jahil itu.  Lalu siapa yang akan menemaninya renang? Siapa yang menjemputnya sepulang les? Selama ini, begitu banyak yang kami kerjakan berdua.  Hampir semua berdua.  Tak sengaja kulihat, sesekali Adek melirik ke arahku.  Adek tau pasti bahwa aku pun sedih dengan perpisahan ini. Mama tahu, Papa tahu, Juga seisi rumah ini. Yah, Keluarga besar H. Ahmad Mustarom tau bahwa Adek sangatlah sedih dengan perpisahan ini.  Makanya mereka pura-pura tak peduli dengan diamnya.  Mereka memakluminya.
Selesai menyiapkan segala sesuatu yang hendak di bawa, Aku menghampirinya.  Ditutupnya pintu kamar dan aku duduk di tepi tempat tidurnya.  Tanganku mengacak-acak rambutnya yang bergaya Mohac, kebiasaanku jika hendak membalas tingkah jahilnya.  Aku jadi terisak.
“Kok cengeng?”Kataku pendek.
Ia semakin membenamkan mukanya ke bantal.  Sebentar lagi bagian dari dirinya akan terbang jauh.  Lalu ia akan sendirian. Aku memeluknya.
“Besok, aku akan sendirian,” gumamnya.
“Aku juga.”
“Tapi kakak lain. Kakak punya kebebasan penuh di sana.”
Aku tertawa kecil.
“Ya, kan?”
 “Kakak happy-happy di sana, tapi aku…”
Aku mempererat pelukanku.
“Mungkin ini awalnya kita harus terpisah.  Masa’ kita harus berkumpul terus.  Bukankah suatu saat nanti kita mesti pisah, menjalani hidup kita sendiri-sendiri? Saatnya Adek belajar hidup sendiri.”
Aku terus ngoceh. Padahal aku sendiri juga sedih atas perpisahan ini.  Selalu apa yang dirasakannya aku rasakan juga, begitu pula sebaliknya. 
Aku sudah berusaha keras menekan kesedihanku.  My Family melepas keberangkatanku tanpa air mata Waktu aku memasuki ruang tunggu bandara Adi Sucipto, aku palingkan mukaku untuk menghindari air mataku yang mulai jatuh lagi dari tatapan Mama dan Papa yang melambaikan tangannya di halaman luar Air port. Aku dan Om berjalan menuju pesawat.  Kulangkahkan kaki ini dengan berat hati.  Aku masih tidak percaya akan meninggalkan kota Jogja tercinta ini.  Om melihatku dengan penuh Iba, dan bismillah.  Garuda Indonesia yang kami naiki telah membawaku pergi dari kota jogja.  Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana kehidupanku nanti di kota Wamena? Apa aku akan kesepian? Ataukah aku akan bahagia? Entahlah.


 


OSPEK

Wamena.  Jauh sekali dengan Jogja.  Jauh dari segi penduduknya, adat dan istiadatnya, bahasanya, lingkungannya dan segala macam.  Dan inilah kehidupan baru yang harus ku jalani.  Aku tinggal di kota Wamena bersama dengan keluarga Om dan Tante.  Keluarga yang harmonis dilengkapi dengan 4 orang anaknya yang lucu-lucu.  Om memang lumayan terkenal di kota ini.  Karena beliau memiliki perusahaan kecil yang sudah lama berdiri di wamena.  Aku bangga berada di keluarga ini.  Walaupun dari segi ekonomi tercukupi, tapi keadaan itu tidak membuat mereka sombong dan tetap menjaga silaturrahmi sesama manusia. 
Om dan Tante memintaku untuk mendaftar kuliah di salah satu Universitas Wamena.  Siang itu aku dan ditemani satu karyawan Om yang kebetulan tinggal serumah dengan kami.  Melengkapi berbagai persyaratan, mengikuti tes, dan akhirnya diterima menjadi Mahasiswa kampus STIA-AI Yapis Wamena.  Senang sekaligus sedih yang aku rasa.  Senang karena menjadi  Mahasiswi, bukan lagi Siswi SMA.  Sedih karena bakal ketemu lagi dengan yang namanya OSPEK.  Mengingat kembali masa-masa MOS yang mengerikan 3 tahun yang lalu.  Pastinya kali ini lebih mengerikan dari pada MOS. 
Dengan sedikit rasa takut aku melangkahkan kaki menuju ruang ORMIK dengan membawa selembar slip bukti pembayaran dari Bank Papua.  Terdengar dari luar suara keributan kakak-kakak panitia dan juga peserta OSPEK yang akan mendaftar.  Aku yang didampingi Mbak Naziv masih merasa ragu untuk masuk dalam ruangan itu yang mayoritas putra daerah. 
“Mahasiswa baru? Mau daftar ya? Namanya siapa?” Tanya seorang panitia OSPEK yang sedang sibuk mengurus pendaftaran itu.
“Iya, Radifa Alisya, S1 Administrasi Negara”.  Jawabku dengan sedikit gugup.
Seorang cewek cantik mencatat apa yang aku katakan tadi pada selembar kwitansi.  Betapa lelah wajah kakak panitia itu.  Mungkin sudah dari pagi hingga sore gini dia mengurus pendaftaran. Kasihan.
Baru ko pu fotokopi ijazah dengan foto 3x4 mana kah?” Tanya salah satu panitia putra daerah dengan bahasa papuanya.  Jujur aku masih tidak mengerti dengan bahasa itu.  Maklum baru 3 hari hidup di Wamena.  Ku tengok Mbak Naziv.  Mbak Naziv pun langsung mengartikannya padaku bahasa itu.  Mungkin dia tau kalau aku tidak mengerti apa yang panitia ucapkan tadi.
“Kemaren sudah dikumpul di akademik kak, pakai map warna hijau”. Jawabku dengan berusaha sopan di depan kakak panitia. 
“Di akademik dengan di sini lain lagi dek. Ya sudah kalau gitu, tinggal saja slip itu.  Ijazah dengan fotonya besok pagi e?!” Kata kakak panitia berambut pirang itu.
“Iya kak, makasih.”
Semua Mahasiswa baru dikumpulkan di lapangan kampus untuk menerima informasi dari panitia.  Tentang ospek yang akan dijalani selama empat hari nanti.  Di lapangan ini, aku mendapatkan teman baru.  Namanya Winda.  Dia baik, cantik, dan dia juga berjilbab.  Nama samaran yang akan dipakai Winda nanti adalah RODA.  Dibaginya masing-masing pleton.  Tapi sayang, aku berbeda pleton dengan Winda.  Dia berada di pleton 2.  Sedangkan aku di pleton 4. 
Aku pulang dengan muka kesal.  Tapi ternyata panitia ada yang baik juga ya? Biasanya sih kejam-kejam.  Atau karena ini belum mulai ospek? Entahlah. 
Selembar kertas Manila berwarna pink, 1 buah kawat panjang, 1 roll rafia warna merah dan 1 buah tas plastik yang bertuliskan STIA-AI Yapis Wamena.  Ku gunting kertas yang sudah saya gambar sebuah topi kerucut itu.  Ku bengkokkan kawat kecil panjang itu lalu ku bentuk sebuah kaca mata.  Membuat sebuah papan nama berukuran 20 cm x 30 cm yang bertuliskan KANCING.  Itulah nama samaranku untuk ospek nanti.  Aku mencoba mengenakan semua atribut itu sambil berkaca di depan cermin kamarku.  Culun. Oon. Odonk.  Astaga!!! Aku pun tertawa sendiri melihat diriku yang oneng ini.  
Hari-hari permulaan ospek, aku lalui tanpa gairah.  Terasa sekali betapa bedanya ke sekolah bersama teman-teman dan ke kampus sendirian begini.  Semua terasa asing, apalagi dengan lingkungan dan suasana serba baru begini.  Tapi anehnya, ospek di sini tidak begitu berat seperti di Jogja.  Kalau di Jogja, terlalu banyak ini itu yang harus di bawa setiap harinya.  Mulai dari atribut sampai menu makan siang yang aneh-aneh.  Sedangkan di kampus ini, atribut itu berlaku hingga ospek berakhir.  Menu makan siang pun disediakan oleh panitia.  Persamaannya mungkin panitianya pada galak-galak. Hehe… maklumlah tuntutan peran.  ^^
Hari kedua aku ospek, makin membosankan kegiatan ini.  Aku duduk bersama putra-putri daerah yang tak aku kenal sama sekali.  Namun, mereka baik denganku.  Namanya memang susah-susah untuk dihafal.  Tapi yang pasti, aku sedikit hafal dengan muka mereka.  Hari ini aku puasa.  Yah.  puasa nadzarku karena telah diterima di salah satu Universitas Wamena.  Dengan niat yang tulus, kusiapkan mentalku untuk hari ini.  I believe, I can do it. 
Memang tidak ku katakan kepada panita dan teman-teman bahwa aku puasa hari ini.  Tidak pula ku umumkan di rumah, karena pasti tante melarang aku puasa dalam kegiatan ospek itu.  Waktu makan siang pun tiba, kakak panitia bagian konsumsi segera membagi snack untuk peserta ospek.  Semua peserta sudah menerima bagian masing-masing kecuali aku.  Panitia yang berada di depan memberikan aba-aba kepada peserta ospek untuk mengangkat snack itu.  Seluruh peserta ospek yang ada di ruangan itu pun mengikuti apa yang diperintahkan oleh panitia.  Yah walaupun ada yang menggerutu di belakang.  Tapi ya itulah panitia.  Yang telah memberikan peraturan.  Peraturan yang berisi 2 pasal.  Pasal 1, panitia tidak pernah bersalah;  Pasal 2, jika panitia bersalah maka kembali ke pasal 1.  So, mau nggak mau, harus mengikuti apa yang dicelotehkan panitia. 
Ada beberapa panitia yang melihatku diam dan tidak mengangkat jatah snack seperti yang lainnya.  Ketua panitia pun menghampiriku.  Sempat ada rasa takut, tapi akhirnya ku beranikan diri untuk siap menjawab pertanyaan dari Ketua Panitia itu.
“Makanannya mana?! Kok tidak diangkat?” Tanya Ketua panitia itu seperti siap-siap menghukumku.
“Maaf kak, aku puasa” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Owh… maaf. Maaf ya?!” Kata Ketua Panitia itu di iringi dengan senyum manisnya.  Lalu melangkah ke depan meninggalkanku.  Kakak panitia berambut pirang itu pun segera mengorek informasi dari Ketua panitia mengapa aku tidak mengangkat makanan seperti yang lain.  Karena tidak suka makanannya atau karena memang ingin melanggar peraturan?!
Aku memperhatikan gerak-gerik kedua kakak panitia itu.  Nathan Jaya Saputra (Nathan), selaku Ketua panitia ospek itu dan satu lagi Okta Vanderg (Evan), Anggota panitia ospek berambut pirang.  Kak Evan sepertinya ingin sekali mencari kesalahan sama aku.  Sampai ngotot ingin tau alasannya kenapa aku tidak memegang dan mengangkat makan siang seperti yang peserta yang lain.  Dan kelihatan sekali kak Evan sudah siap-siap untuk memberikan hukuman.  Tapi inilah Ketua panitia ospek yang bijaksana.  Kak Nathan memberi informasi kepada kak Evan kalau aku puasa hari ini.  Tapi anehnya, kak Evan justru membantah dengan kata-katanya yang ingin sekali menghukum aku.  Sempat masalah kecil ini dibesarkan oleh para panitia, terutama kak Evan.  Dengan kebijakan Ketua panitia yang mengatakan bahwa memang panitia itu sebelumnya tidak menginformasikan peraturan untuk peserta dilarang berpuasa pada saat ospek.  So, semua terdiam dan menerima. 
Kegiatan ospek tetap berjalan hingga sore hari.  Hampir Adzan Maghrib acara ospek belum juga dibubarkan oleh panitia.  Aku pun tetap berdiri tegak dengan posisi istirahat di tempat sambil mendengarkan pengarahan dari panitia.  Seriusku saat itu terbangun oleh panggilan ketua panitia.  Yah. Beliau menghampiriku dan menyuruhku pulang untuk berbuka puasa.  Awalnya aku tidak mau karena takut dengan panitia yang lain.  Aku bertanya ulang kepada kak Nathan.  “Emang nggak papa kak pulang sekarang?” tanyaku ragu.
“Ya nggak papa, saya kan ketuanya jadi nggak perlu takut dengan yang lain.” Kata Ketua panitia itu dengan ramah.
“Ya udah kalo gitu, makasih ya kak.”



 




Sungguh membosankan.  Semua serba baru, lain dan masih banyak yang belum aku tahu.  Terutama bahasa.  Huft….>,<
Setiap kali aku berbicara, orang pasti sudah bisa menebak kalau aku orang Jogja.  Padahal aku sudah berusaha keras untuk beradaptasi dengan mereka.  Tapi biarlah.  Biarkan menjadi ciri khas dalam diriku.
Ospek tinggal satu hari lagi.  Tadi siang aku dengar dari kak Toto Weya, tenaga kerja di rumah Om. Dia mengatakan  kalau besok peserta ospek di kampusku suruh masuk got.  Oh My God!! Yang benar aja. Percaya nggak percaya sih denger berita itu.  Soalnya kalo dipikir-pikir mana mungkin Mahasiswa berenang di Got yang penuh Lumpur gitu.  Doaku sih semoga tidak benar. 
Tapi ternyata doaku tidak dikabulkan sama Allah.  Berita itu benar adanya.  Aku bingung mencari-cari alasan agar tidak mengikuti kegiatan itu.  Tapi percuma.  Aku nggak bisa bohong dengan membuat-buat alasan palsu.  Toh alasan apapun itu panitia mungkin juga tidak mau dengar.  So, pasrah aja.  Yang mulanya aku berjilbab hitam, kaos ospek putih dan celana hitam, muka berwarna sawo matang dilapisi dengan bedak tipis, tapi sepulang dari kampus, jilbabku tidak lagi hitam.  Lantas seperti ada motif-motif batik yang ternyata itu adalah lumpur kering.  Kaos putihku pun berubah menjadi coklat.  Celana yang awalnya polos jadi bermotif.  Betapa kejam kegiatan ini.  Sampai aku tidak sempat untuk sholat Dzuhur.  Semoga ada hikmahnya. 
Sore itu aku kembali lagi ke kampus untuk mengikuti acara penutupan ospek.  Betapa hancurnya wajahku, terbakar oleh sinar matahari selama 4 hari dan menyelam di Lumpur.  Sakit rasanya.  Never mind!! Yah.  Demi sertifikat.  Tapi aku lega setelah melihat wajah teman-temanku yang lain.  Ternyata bukan hanya aku yang mukanya terkelupas.  Yang lain pun demikian.  Syukurlah ada temannya. Dipanggilnya satu persatu Nama Mahasiswa baru yang telah mengikuti ospek selama 4 hari ini.  Kemudian dipersilakan tanda tangan sebagai tanda terima sertifikat. 
“RADIFA ALISYA!!” teriak salah satu panitia yang mengenakan Jas Almamater STIA. 
That’s my name.  Huft… setelah berjam-jam aku menunggu ternyata dipanggil juga.  Dengan rasa bangga aku maju ke depan menerima sertifikat itu.  Beberapa tangan menjabat tanganku sebagai tanda selamat seolah telah lolos dari cengkraman maut.  Alhamdulillah.  Ku seret kakiku menuju pintu keluar ruangan itu.  Aku kaget, di dekat pintu sudah ada seorang cowok yang ternyata menungguku.  Cowok itu tak lain adalah salah satu panitia juga.  Dia bersaudara dengan Roda.  Teman pertamaku di Wamena ini.  Namanya Ihsan Kurniawan.  Orangnya baik.  Bahkan dia selalu membantuku di saat aku mengalami kesulitan pada waktu ospek.  Seperti waktu topiku rusak karena sempat ada keributan di ruangan, terus waktu pin hilang, kak Ihsan juga memberikan pin baru buat aku.  Memang orang yang baik. 
“Ayo saya antar pulang!” Sapa kak Ihsan ketika melihatku bengong.
“Saya?! Owh… nggak usah kak, makasih.  Udah ada yang jemput kok.”
“Oh sudah ada kah?! Ya sudah kalau gitu, saya kira tidak ada yang jemput.  Kalau gitu, hati-hati ya!”   
“Iya kak, makasih.  Aku duluan ya? Daagh… “ Seruku sambil ku lambaikan tangan kananku.  Kak Ihsan membalas dengan senyuman.
Aku melangkah keluar sambil mencari-cari jemputan.  Di tengah perjalanan, hpku bunyi.  Ku buka sms itu. 
Icha ada di mana? Ayo saya antar. 
Sms itu dari Lengkuas.  Temanku juga yang kebetulan kenal juga dengan Roda.  Dengan cepat ku balas sms itu. 
Nich lg kLwr.  Tp mksh, aq dijpmt kok.
Belum sempat aku kirim sms itu, ternyata Lengkuas muncul di depanku. 
“Ayo saya antar sudah!”
“Makasih, tapi kayaknya aku dijemput.”
“Ya sudah kalau gitu, saya tunggu sampai kamu dijemput e?!”
Aku hanya tersenyum mengiyakan.
15 menit sudah aku menunggu.  Tapi jemputan tidak kunjung tiba.  Aku ingat, Om ke Yahukimo.  Masih sibuk ngurus Mikrotik  di sana.  Lalu siapa yang menjemputku? Apa mbak Naziv? Tapi kok smsku tidak dibalas? Telpon juga tidak diangkat. 
Lengkuas kembali mengajakku pulang dengan menawarkan mau mengantarku pulang.  Karena waktu sudah menunjukkan pukul 23:27, akhirnya aku menerima tawaran itu.  Diantarnya aku ke Jalan Ahmad Yani tepatnya no. 86.  Aku masuk rumah dengan meninggalkan kata terima kasih dan lambaian tangan pada Lengkuas.  Ku hempaskan tubuhku di tempat tidur.  Melepaskan lelah.  Tapi aku bangga bisa melalui 4 hari menyeramkan itu.  Ku pejamkan mataku dan ku tenggelamkan kepalaku di bantal kesayangan.  Semoga mimpi indah….^^


 

KAMPUS

“Sore kancing!” Sapa seseorang di halaman parkir kampus.
Aku hanya bisa tersenyum dilanjutkan dengan tertawa kecil.  Kancing.  Itu kan nama samaran waktu ospek? Kenapa masih berlaku yah? Jadi geli sendiri kalau ada yang panggil nama samaran itu. 
Aku memasuki kelas baruku dengan Winda.  Teman pertamaku di wamena ini.  Kita mengambil tempat duduk yang berdekatan.  Suara ribut-ribut di kelas terdengar begitu keras.  Sibuk membicarakan ospek beberapa hari yang lalu.  Bagiku itu adalah kesan yang indah, seru, bosan, dan menyeramkan.  Biarkan aku kenang tanpa harus dibahas terus menerus. 
“Cewek dua itu yang parah.  Mukanya lucu sekali waktu masuk got” kata salah satu teman kelas yang sedang membicarakan aku dengan Winda.
Winda hanya mencibir mendengar pembicaraan itu.  Kemudian mereka menghampiri kami yang sedang asyik dengan hp masing-masing. 
“Hai, gue Ronal.” Sapa cowok tinggi itu dengan mengulurkan tangannya.
“Icha” jawabku. 
Disambut lagi dengan teman-teman lain yang berkenalan dengan cara mereka masing-masing.  Sehingga hampir seisi 1-I kami saling mengenal.  Hari ini pemilihan Ketua kelas.  Dicalonkannya beberapa orang.  Dan akhirnya terpilihlah Zakaria sebagai ketua kelas 1-i.  Cowok tinggi yang sering mendapat hukuman pada waktu ospek.  Seperti inilah hari awal aku masuk dalam perkuliahan. 
Aku menikmati hari-hariku dengan kerja dan kuliah.  Banyak yang mengkhawatirkan keadaanku.  Terutama Mama.  Takut kecapekan lah, sakit lah, dan itulah Mama.  Tapi aku tegaskan sekali lagi kepada beliau bahwa seorang Radifa Alisya itu tidak pernah mengeluh capek.  Jadi Mama sama Papa tidak perlu khawatir.  Toh ada Om dan Tante yang menjaga aku di sini.  Aku menyukai kerjaanku karena serba berbau dengan teknologi.  Beberapa hal yang belum aku tau, sekarang sudah ku ketahui berkat bimbingan dari Om.  Aku juga enjoy banget dengan kuliahku.  Walaupun harus malam hari aku kuliah, tapi aku selalu semangat dan tak pernah menunjukkan badmood di depan Om dan Tante.  Pernah waktu hari pertama aku kuliah, pulang kehujanan, Tante dengan segera memasuki kamarku dengan wajah yang begitu cemas menanyakan apakah aku sanggup pulang malam setiap hari, apa aku sanggup kedinginan di jalan, apa aku sanggup kehujanan, apa aku sanggup menahan kantuk pada saat perkuliahan.  Banyak sekali kecemasan Tante. Bahkan Tante sempat menyuruku untuk pindah ke kampus II yang masuk perkuliahannya pagi.  Aku hanya tersenyum, menghela nafas dan tertawa kecil.  Sempat sedikit panik setelah mendengar perkataan Tante tentang pindah kampus.
“Tante, aku nggak papa.  Tante nggak perlu secemas ini.  Tante juga nggak perlu memindahkan aku ke kampus II.  Karena aku udah enjoy dengan teman-teman baru di kampus I, dan aku juga nggak ngerasa ada beban sama sekali.  Jadi Tante sama Om nggak perlu khawatir.”
Tante sedikit lega dengan pernyataanku.  Bagaikan seorang Artis yang sedang mengadakan jumpa pers kepada para wartawan. 
Tante adalah sesosok ibu yang baik, cantik, sholehah.  Dan buat aku itu udah perfect.  Kepribadiannya patut aku contoh.  Karena di sini, Tante merupakan Ibu kedua buat aku. Walaupun sudah mempunyai 5 orang anak, tapi tidak mengubah paras Tante sedikitpun.  Tetap cantik seperti anak-anak remaja pada umumnya. 
Makin hari, kerja dan kuliahku makin sibuk.  Kadang sampai aku bingung untuk membagi waktu.  Di saat kuliah sedang banyak tugas, kerjaan juga pas kebetulan ada proyek.  Jadi ya terpaksa harus mengorbankan waktu tidurku untuk mengerjakan tugas kuliah.  Walaupun jam 2 malam aku harus bangun dan menyelesaikan tugas-tugasku, aku masih tetap tersenyum.  Karena aku bangga bisa kuliah sambil kerja. 


 




ORMIK HOME SWEET

Memasuki bulan ketiga aku beradaptasi di Wamena.  Dengan lingkungan kerja dan Kampusku.  Banyak hal-hal baru yang aku dapatkan di sini.  Teman-teman baru yang modelnya lain-lain dan memiliki keunikan tersendiri.  Hari ini aku diajak Winda ke ORMIK menemui kak Ihsan.  Mereka berdua memang bersaudara.  Tapi saudara dari mana aku kurang tahu.  Aku menghentikan langkahku di depan pintu ORMIK.
Ko kenapa kah?” Tanya Winda keheranan.  Winda memang anak baru di Wamena.  Hampir sama denganku.  Tapi Winda berasal dari padang, sedangkan aku dari Jogja.  Dan hebatnya dia, dia sudah lancar menggunakan bahasa papua.  Tapi aku Lola.  Jogjaku masih saja menempel dalam diriku sampai sekarang.
“Nggak papa sih Win, cuman aku malu aja kalo masuk ke ORMIK.  Soalnya kalau aku lihat banyak kakak-kakak panitia di situ.  Ogah ah! Kamu aja yang masuk.”
Ah Cuma kakak-kakak saja mo.  Kita disuruh ke sana sama kak Ihsan.  Lagian kakak-kakak itu juga baik kok.  Ayolah Cha!” Rengek Winda sambil menarik-narik tangan kiriku.
Belum sempat aku merespon ajakan Winda, pintu ORMIK itu terbuka.  Ternyata ada cowok yang membukanya.  Aku kaget seketika.  Cowok itu lewat di depan aku dan Winda tanpa senyum sedikitpun.  Lewat begitu saja tanpa menyapa kami. Tapi Sepertinya aku hafal betul dengan cowok yang membuka pintu barusan.  Yah.  Ketua Panitia.  Ketua Panitia yang baik itu.  Ketua Panitia yang menyuruhku pulang untuk berbuka puasa.  Ketua Panitia yang sempat ribut dengan Panitia berambut pirang itu. –Dan Ketua Panita yang memanjakan aku ketika bakti sosial, aku dilarang memunguti sampah dengan.  Hanya disuruh menyapu saja.  Yah.  Kak Nathan Jaya Saputra. \Tapi kenapa lain?! Kenapa jadi jutek seperti adegan 10 detik lalu.  Apa aku ada salah ya sama cowok itu? Tapi kan aku belum kenal baik sama kak Nathan.  Hanya sebatas tau saja.  Dan mungkin kak Nathan hanya sekedar tau kalau namaku KANCING.  Ah ngapain juga aku pusing-pusing gini?! mungkin Kak Nathan memang lagi ada masalah sehingga membuatnya cuek dengan aku dan Winda. 
“Masuk sini dek! Kamu dua bikin apakah di luar?” Teriak kak Ihsan di dalam ORMIK yang membuat aku terbangun dari lamunan.  Winda menarik tanganku kemudian didudukkannya aku di kursi yang terletak di sebelah tempat duduk kak Ihsan.  Aku hanya terdiam.  Mengamati gerak-gerik anak-anak ORMIK.  Mereka gokil, seru dan lucu.  Sesekali aku melirik ke Winda yang sedang asyik berbincang dengan kakak panitia berambut pirang.  Oh jadi ini yang bikin Winda ngebet pengen ke ORMIK..!  gerutuku dalam hati.  Sesekali aku tertawa kecil mendengar kegokilan anak-anak ormik yang belum semuanya aku kenal itu.  Mereka lucu, seru dan gokil sampai membuatku ikut tertawa dengan ulah mereka.  Handphone kesayanganku yang aku beri nama Blue_cha berbunyi sejak tadi aku memperhatikan Winda dan kak Ivan.  Ku ambil dari mini bag yang aku letakkan di atas meja.  
---) Bersambung (---
(Dapatkan cerita novel selanjutnya pada sumber terpercaya) -_- 
GBU

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 komentar:

adhe mengatakan...

disaat mengagumi or menyukai sesuatu, tambahanx ungkapan perasaan (selingan puisi).. ceritax "great", ungkapan menghargai kehidupan, nah, tata bahasa papuax harus lebih dipertajam., key ^^

Riefa Beiby mengatakan...

puisinya ada, tp nggak aku posting. hehehe...^^
kan di situ udah tertulis ---) bersambung (---
but, thanks yach?! waduw.... butuh beribu2 tahun nih untuk mempertajam bahasa papua.

adhe mengatakan...

bahasax dipelajari kulit-kulitx doank.,
yang penting tw deh,. hahahaha
"bersambung" ??
nah i2 tuh yang bikin penasaran.
haha

Riefa Beiby mengatakan...

hehehe.... ya harus gitu donk untuk bisa memancing emosi si pembaca. wakakakakk.... :D

Posting Komentar