EXNIHILO


EXNIHILO
            Aku memperhatikan wajahnya. Zi sedang makan telor ceplok setengah matang. Wajahnya lucu sekali. Namaku Donita Rhealiz biasa dipanggil Rhe. Sedangkan saudara kembarku itu bernama Currie Deliza biasa dipanggil Zi.  Sebenarnya kami sangat benci dengan nama itu.  Tapi setelah mengerti makna yang hebat di dalam kata-kata itu, kami pun jadi bangga.  Walaupun kembar, tapi kebiasaan kita berbeda.  Aku memang jarang sholat, sedangkan Zi tak ada lubang di jadwal sholatnya.  Penampilan kamipun juga berbeda.  Zi selalu memakai kerudung. 
            Aku menyebut Zi Collapse, dia remaja yang berantakan bukan karena berantakan penampilannya, tapi berantakan sifatnya.  Dia selalu saja jatuh saat berjalan karena melamun.  Berbeda dengan sifatnya. Cara hidup Zi sangat jauh dari Collapse.  Seharusnya akulah yang disebut Collapse. Aku tak pernah punya jadwal kegiatan termasuk sholat.  Walaupun setiap kali Zi selalu mengingatkan ku untuk sholat. 
            Pagi yang cerah, hari ini aku libur sekolah.  Aku bosan.  Aku memutuskan untuk pergi ke Toko buku.  Betapa kagetnya di sana aku bertemu dengan Om Jo yang sekian lama tak pernah bertemu.  Rambutnya yang Mohawk alias anak Punk, membuatku hampir tak mengenalnya.  Usia Om Jo tak selisih banyak denganku.  Dia sekarang sedang kuliah semester 4. Sampai di rumah, aku menceritakan pada Zi tentang pertemuan ku dengan Om Jodi. 
            Keesokan harinya aku ke Toko buku itu lagi untuk bertemu dengan Om Jo.  Belakangan aku baru tau kalo Toko buku itu ternyata milik Adly, si Anak Punk teman Om Jodi.  Adly tersenyum melihatku.  “Cari Jodi ya? Akhir-akhir ini Jodie nggak ke sini.”  Kata Adly.  “Kalo nggak ada Om Jo, apa aku boleh nanya sesuatu sama kamu?” aku mendekati meja kasir Adly.  “Kalo aku bisa jawab, aku akan jawab semampuku”.  Sergah Adly. “Agama Lo apa?” tembakku.  “Jadi itu yang pengen kamu tau? Islam” jawabnya. “Bukannya lo anak Punk? Setauku anak anarki nggak percaya sama agama”. Tanyaku.  “Di dalam anarki pun ada Madzhab.  Sebenarnya agama dan sholat itu aturan.  Bukan berarti anak Punk nggak punya agama.  Kalo aku sih yakin manusia memang harus diatur, coba kalo nggak ada aturan!” kata Adly. 
            Aku terpengaruh mendengar kata-kata Adly.  “Karna aku percaya Tuhan sebagai pencipta, aku berfikir tak ada sesuatu yang berhak mengatur selain Dia.”  Adly menatap tajam.  Malam harinya aku memikirkan kata-kata Adly.  Di dalam hati kecilku aku pun sadar Tuhan itu ada.  Tapi aku beranggapan bahwa materi pembentuk Partikel di dunia ini adalah EXNIHILO kalo begitu apakah Tuhan itu EXNIHILO? Batinku.  Tiba-tiba Mama masuk ke kamarku.  “Kata Zi kamu sudah nggak pernah sholat? Mama tak percaya.” Aku kaget. “Ma, kenapa manusia bersujud dan menyembah Tuhan?” tanyaku.  “Manusia itu butuh pengkultusan Rhe!” ucap Mama.  Kemudian dengan kata-kata yang singkat Mama pun keluar sambil membenahi selimutku.  Semenjak Mama keluar aku selalu mengingat kata-kata Zi.  Dia selalu menyuruhku untuk selalu sholat.  Tapi aku nggak pernah mau. 
Cuaca di sore hari terasa mendung.  Aku melihat Zi pulang sekolah.  Zi masuk rumah mengucapkan salam.  Tiba-tiba dia masuk kamarku. “Kamu mau kan nemenin aku sholat?” aku diam. “Please….” Katanya memohon sambil keluar.  15 menit kemudian Zi kembali ke kamarku.  “Kita sholat di sini aja ya? Yuk sholat! Kamu udah Wudlu belum?” aku bengong. Aku berdiri melangkah dan mengambil air wudlu.  Aku berkali-kali mengulangi Wudluku. Aku lupa urutan dan bacaannya karna aku nggak pernah melakukannya. Tapi ku coba mengingatnya.   15 menit aku kembali, Zi menatapku aneh.  “Lama banget sih! Yuk kita Jama’ah.”  Ajak Zi.  Aku tak mau jawab apapun yang dia katakan.  Hari itu adalah hari pertama aku sholat, sejak sekian lama aku meninggalkan sholat.  Pada sujud terakhir, Zi selalu memperlama sujudnya.  Tapi lama banget Zi tak bangun dari sujudnya.  Sampai akhirnya aku berinisiatif untuk bangkit dari sujudku dan berfikir mungkin Zi ketiduran.  Tapi Zi tak juga bangkit dari sujudnya.  Aku menatapnya lama, aku menyentuh pundah Zi. Mengguncangnya pelan dan memanggil-manggil namanya, tapi tetap saja nggak bangun.  “Zi… Zi…..! aku bingung. Mungkinkah Zi pinsan? Atau tidur lelap.  Wajah Zi tersenyum.  Aku mendekapkan telingaku di dadanya.  Aku tak mendengar suara detak jantung.  Aku mundur panik.  Apa yang sebenarnya terjadi? Aku pun keluar memanggil Papa dan Mama. “Ada apa Rhe?” Tanya Papa.  “Zi….Zi…!” kataku sambil nafas tersengal-sengal.  Mama dan Papa langsung mencari Zi.  “Zi….Zi…! bangun, nak?” Mama menepuk kedua pipi Zi sambil menangis.  “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Zi meninggal Ma” kata Papa.  Mama pun pinsan.  Aku kaget mendengarnya.  Kata-kata itu bagai halilintar.  Aku nggak nyangka kalau Zi akan meninggal secepat ini. Zi sungguh mulia.
            Pemakaman pun berlangsung banyak yang melayat.  Termasuk Om Jo.  Semua orang sangat sedih kehilangan Zi.  Begitu juga aku.  Aku sangat sayang pada Zi.  Semenjak kepergian Zi, kini ku sadar.  Aku mulai percaya adanya Tuhan.  Tak pernah ku tinggalkan sholat.  Aku yakin Zi adalah wanita yang mulia.  Aku akan meneruskan perjuangan Zi.  Bohlam di kepalaku mulai menyala satu-satu.  Aku sekarang berkerudung untuk memenuhi aturan dan perintah Tuhan yang Maha Esa Tanpa harus menunjukkan eksistensi dan tujuan-tujuan lain.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar