POPULASI DAN SAMPEL


POPULASI DAN SAMPEL

A.     Definisi
Populasi adalah wilayah generalisasi berupa subjek atau objek yang diteliti untuk dipelajari dan diambil kesimpulan. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti.  Dengan kata lain, sampel merupakan sebagian atau bertindak sebagai perwakilan dari populasi sehingga hasil penelitian yang berhasil diperoleh dari sampel dapat digeneralisasikan pada populasi.  Penarikan sampel diperlukan jika populasi yang diambil sangat besar, dan peneliti memiliki keterbatasan untuk menjangkau seluruh populasi maka peneliti perlu mendefinisikan populasi target dan populasi terjangkau baru kemudian menentukan jumlah sampel dan teknik sampling yang digunakan.
B.     Ukuran Sampel
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan tabel yang dikembangkan para ahli.  Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel minimal untuk memperoleh hasil yang baik adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah sampel minimum adalah 100.
Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006) memberikan acuan umum untuk menentukan ukuran sampel:
1.      Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian
  1. Jika sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan sebagainya), ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat
  2. Dalam penelitian mutivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran sampel sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian
  3. Untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen yang ketat, penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil antara 10 sampai dengan 20.
Besaran atau ukuran sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan adalah semakin besar jumlah sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi jumlah populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi.
Beberapa rumus untuk menentukan jumlah sampel antara lain :
1.      Rumus Slovin (dalam Riduwan, 2005:65)
N = n/N(d)2 + 1
n = sampel; N = populasi; d = nilai presisi 95% atau sig. = 0,05.
Misalnya, jumlah populasi adalah 125, dan tingkat kesalahan yang dikehendaki adalah 5%, maka jumlah sampel yang digunakan adalah :
N = 125 / 125 (0,05)2 + 1 = 95,23, dibulatkan 95
2.      Formula Jacob Cohen (dalam Suharsimi Arikunto, 2010:179)
N = L / F^2 + u + 1
Keterangan :
N = Ukuran sample
F^2 = Effect Size
u = Banyaknya ubahan yang terkait dalam penelitian
L = Fungsi Power dari u, diperoleh dari table
Power (p) = 0.95 dan Effect size (f^2) = 0.1
Harga L tabel dengan t.s 1% power 0.95 dan u = 5 adalah 19.76
maka dengan formula tsb diperoleh ukuran sample
N = 19.76 / 0.1 + 5 + 1 = 203,6, dibulatkan 203
3.      Rumus berdasarkan Proporsi atau Tabel Isaac dan Michael
Tabel penentuan jumlah sampel dari Isaac dan Michael memberikan kemudahan penentuan jumlah sampel berdasarkan tingkat kesalahan 1%, 5% dan 10%. Dengan tabel ini, peneliti dapat secara langsung menentukan besaran sampel berdasarkan jumlah populasi dan tingkat kesalahan yang dikehendaki.
C.     Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang secara umum terbagi dua yaitu probability sampling dan non probability sampling.
Dalam pengambilan sampel cara probabilitas besarnya peluang atau probabilitas elemen populasi untuk terpilih sebagai subjek diketahui. Sedangkan dalam pengambilan sampel dengan cara nonprobability besarnya peluang elemen untuk ditentukan sebagai sampel tidak diketahui. Menurut Sekaran (2006), desain pengambilan sampel dengan cara probabilitas jika representasi sampel adalah penting dalam rangka generalisasi lebih luas. Bila waktu atau faktor lainnya, dan masalah generalisasi tidak diperlukan, maka cara nonprobability biasanya yang digunakan.
1.      Probability Sampling
Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota populasi untuk menjadi sampel. Teknik ini meliputi simpel random sampling, sistematis sampling, proportioate stratified random sampling, disproportionate stratified random sampling, dan cluster sampling.
2.      Simple random sampling
Teknik adalah teknik yang paling sederhana (simple). Sampel diambil secara acak, tanpa memperhatikan tingkatan yang ada dalam populasi.
Misalnya :
Populasi adalah siswa SD Negeri XX Jakarta yang berjumlah 500 orang. Jumlah sampel ditentukan dengan Tabel Isaac dan Michael dengan tingkat kesalahan adalah sebesar 5% sehingga jumlah sampel ditentukan sebesar 205.
Jumlah sampel 205 ini selanjutnya diambil secara acak tanpa memperhatikan kelas, usia dan jenis kelamin.
3.      Sampling Sistematis
Adalah teknik sampling yang menggunakan nomor urut dari populasi baik yang berdasarkan nomor yang ditetapkan sendiri oleh peneliti maupun nomor identitas tertentu, ruang dengan urutan yang seragam atau pertimbangan sistematis lainnya.
Contohnya :
Akan diambil sampel dari populasi karyawan yang berjumlah 125. Karyawan ini diurutkan dari 1 – 125 berdasarkan absensi. Peneliti bisa menentukan sampel yang diambil berdasarkan nomor genap (2, 4, 6, dst) atau nomor ganjil (1, 2, 3, dst), atau bisa juga mengambil nomor kelipatan (2, 4, 8, 16, dst).

4.      Proportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini hampir sama dengan simple random sampling namun penentuan sampelnya memperhatikan strata (tingkatan) yang ada dalam populasi.
Misalnya, populasi adalah karyawan PT. XYZ berjumlah 125. Dengan rumus Slovin (lihat contoh di atas) dan tingkat kesalahan 5% diperoleh besar sampel adalah 95. Populasi sendiri terbagi ke dalam tiga bagian (marketing, produksi dan penjualan) yang masing-masing berjumlah:
Marketing       : 15
Produksi         : 75
Penjualan       : 35
Maka jumlah sample yang diambil berdasarkan masing-masinng bagian tersebut ditentukan kembali dengan rumus n = (populasi kelas / jml populasi keseluruhan) x jumlah sampel yang ditentukan.
Marketing       : 15 / 125 x 95            = 11,4 dibulatkan 11
Produksi         : 75 / 125 x 95            = 57
Penjualan       : 35 / 125 x 95            = 26.6 dibulatkan 27
Sehingga dari keseluruhan sample kelas tersebut adalah 11 + 57 + 27 = 95 sampel.
Teknik ini umumnya digunakan pada populasi yang diteliti adalah keterogen (tidak sejenis) yang dalam hal ini berbeda dalam hal bidangkerja sehingga besaran sampel pada masing-masing strata atau kelompok diambil secara proporsional untuk memperoleh.
5.      Disproportionate Stratified Random Sampling
Disproporsional stratified random sampling adalah teknik yang hampir mirip dengan proportionate stratified random sampling dalam hal heterogenitas populasi. Namun, ketidakproporsionalan penentuan sample didasarkan pada pertimbangan jika anggota populasi berstrata namun kurang proporsional pembagiannya.
Misalnya, populasi karyawan PT. XYZ berjumlah 1000 orang yang berstrata berdasarkan tingkat pendidikan SMP, SMA, DIII, S1 dan S2. Namun jumlahnya sangat tidak seimbang yaitu :
SMP    : 100 orang
SMA    : 700 orang
DIII     : 180 orang
S1        : 10 orang
S2        : 10 orang
Jumlah karyawan yang berpendidikan S1 dan S2 ini sangat tidak seimbang (terlalu kecil dibandingkan dengan strata yang lain) sehingga dua kelompok ini seluruhnya ditetapkan sebagai sample.
6.      Cluster Sampling
Cluster sampling atau sampling area digunakan jika sumber data atau populasi sangat luas misalnya penduduk suatu propinsi, kabupaten, atau karyawan perusahaan yang tersebar di seluruh provinsi. Untuk menentukan mana yang dijadikan sampelnya, maka wilayah populasi terlebih dahulu ditetapkan secara random, dan menentukan jumlah sample yang digunakan pada masing-masing daerah tersebut dengan menggunakan teknik proporsional stratified random sampling mengingat jumlahnya yang bisa saja berbeda.
Contoh :
Peneliti ingin mengetahui tingkat efektivitas proses belajar mengajar di tingkat SMU. Populasi penelitian adalah siswa SMA seluruh Indonesia. Karena jumlahnya sangat banyak dan terbagi dalam berbagai provinsi, maka penentuan sampelnya dilakukan dalam tahapan sebagai berikut :
Tahap Pertama adalah menentukan sample daerah. Misalnya ditentukan secara acak 10 Provinsi yang akan dijadikan daerah sampel.
Tahap kedua. Mengambil sampel SMU di tingkat Provinsi secara acak yang selanjutnya disebut sampel provinsi. Karena provinsi terdiri dari Kabupaten/Kota, maka diambil secara acak SMU tingkat Kabupaten yang akan ditetapkan sebagai sampel (disebut Kabupaten Sampel), dan seterusnya, sampai tingkat kelurahan / Desa yang akan dijadikan sampel. Setelah digabungkan, maka keseluruhan SMU yang dijadikan sampel ini diharapkan akan menggambarkan keseluruhan populasi secara keseluruhan.

Non Probabilty Sampel
Non Probability artinya setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel. Teknik-teknik yang termasuk ke dalam Non Probability ini antara lain : Sampling Sistematis, Sampling Kuota, Sampling Insidential, Sampling Purposive, Sampling Jenuh, dan Snowball Sampling.
Sampling Kuota
Adalah teknik sampling yang menentukan jumlah sampel dari populasi yang memiliki ciri tertentu sampai jumlah kuota (jatah) yang diinginkan.
Misalnya akan dilakukan penelitian tentang persepsi siswa terhadap kemampuan mengajar guru. Jumlah Sekolah adalah 10, maka sampel kuota dapat ditetapkan masing-masing 10 siswa per sekolah.
Sampling Insidential
Insidential merupakan teknik penentuan sampel secara kebetulan, atau siapa saja yang kebetulan (insidential) bertemu dengan peneliti yang dianggap cocok dengan karakteristik sampel yang ditentukan akan dijadikan sampel.
Misalnya penelitian tentang kepuasan pelanggan pada pelayanan Mall A. Sampel ditentukan berdasarkan ciri-ciri usia di atas 15 tahun dan baru pernah ke Mall A tersebut, maka siapa saja yang kebetulan bertemu di depan Mall A dengan peneliti (yang berusia di atas 15 tahun) akan dijadikan sampel.
Sampling Purposive
Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel. Misalnya, peneliti ingin meneliti permasalahan seputar daya tahan mesin tertentu. Maka sampel ditentukan adalah para teknisi atau ahli mesin yang mengetahui dengan jelas permasalahan ini. Atau penelitian tentang pola pembinaan olahraga renang. Maka sampel yang diambil adalah pelatih-pelatih renang yang dianggap memiliki kompetensi di bidang ini. Teknik ini biasanya dilakukan pada penelitian kualitatif.
Sampling Jenuh
Sampling jenuh adalah sampel yang mewakili jumlah populasi. Biasanya dilakukan jika populasi dianggap kecil atau kurang dari 100. Saya sendiri lebih senang menyebutnya total sampling.
Misalnya akan dilakukan penelitian tentang kinerja guru di SMA XXX Jakarta. Karena jumlah guru hanya 35, maka seluruh guru dijadikan sampel penelitian.
Snowball Sampling
Snowball sampling adalah teknik penentuan jumlah sampel yang semula kecil kemudian terus membesar ibarat bola salju (seperti Multi Level Marketing….). Misalnya akan dilakukan penelitian tentang pola peredaran narkoba di wilayah A. Sampel mula-mula adalah 5 orang Napi, kemudian terus berkembang pada pihak-pihak lain sehingga sampel atau responden teruuus berkembang sampai ditemukannya informasi yang menyeluruh atas permasalahan yang diteliti.  Teknik ini juga lebih cocok untuk penelitian kualitatif.

D.    Yang perlu diperhatikan dalam Penentuan Ukuran Sampel
Ada dua hal yang menjadi pertimbannga dalam menentukan ukuran sample. Pertama ketelitian (presisi) dan kedua adalah keyakinan (confidence).
Ketelitian mengacu pada seberapa dekat taksiran sampel dengan karakteristik populasi. Keyakinan adaah fungsi dari kisaran variabilitas dalam distribusi pengambilan sampel dari rata-rata sampel. Variabilitas ini disebut dengan standar error, disimbolkan dengan S-x.
Semakin dekat kita menginginkan hasil sampel yang dapat mewakili karakteristik populasi, maka semakin tinggi ketelitian yang kita perlukan. Semakin tinggi ketelitian, maka semakin besar ukuran sampel yang diperlukan, terutama jika variabilitas dalam populasi tersebut besar.
Sedangkan keyakinan menunjukkan seberapa yakin bahwa taksiran kita benar-benar berlaku bagi populasi. Tingkat keyakinan dapat membentang dari 0 – 100%. Keyakinan 95% adalah tingkat lazim yang digunakan pada penelitian sosial / bisnis. Makna dari keyakinan 95% (alpha 0.05) ini adalah “setidaknya ada 95 dari 100, taksiran sampel akan mencerminkan populasi yang sebenarnya”.

E.     KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa teknik penentuan jumlah sampel maupun penentuan sampel sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari penelitian. Dengan kata lain, sampel yang diambil secara sembarangan tanpa memperhatikan aturan-aturan dan tujuan dari penelitian itu sendiri tidak akan berhasil memberikan gambaran menyeluruh dari populasi.

Sumber:  http://teorionline.wordpress.com/2010/01/24/populasi-dan-sampel/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

METODE PENELITIAN KUANTITATIF

METODE PENELITIAN KUANTITATIF

Metode penelitian kuantitatif memiliki cakupan yang sangat luas. Secara umum, metode penelitian kuantitatif dibedakan atas dua dikotomi besar, yaitu eksperimental dan noneksperimental. Eksperimental dapat dipilah lagi menjadi eksperimen kuasi, subjek tunggal dsb. Sedangkan noneksperimental berupa deskriptif, komparatif, korelasional, survey, ex post facto, histories dsb.
Ada beberapa istilah yang sering dirancukan di dalam penelitian. Istilah tersebut adalah pendekatan, ancangan, rencana, desain, metode, dan teknik. Di dalam makalah ini disinggung mengenai perbedaan istilah tersebut untuk didiskusikan dan dicarikan simpulan bersama-sama.

BERBAGAI ISTILAH DI DALAM PENELITIAN
Secara umum, jenis penelitian berdasarkan pendekatan analisisnya dibedakan menjadi dua, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan ini lazim juga disebut sebagai pendekatan, ancangan, rencana atau desain.  Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis penelitian. Dalam arti luas rancangan penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penlitian. Dalam rancangan pereperencaan dimulai dengan megadakan observasi dan evaluasi rerhadap penelitian yang sudah dikerjakan dan diketahui, sampai pada penetapan kerangka konsep dan hipotesis penelitian yang perlu pembuktian lebih lanjut.
Rancangan pelaksanaan penelitian meliputi prose membuat prcobaan ataupun pengamatan serta memilih pengukuran variable, prosedur dan teknik sampling, instrument, pengumpulan data, analisis data yang terkumpul, dan pelaporan hasil penelitian.
Metode penelitian lebih dekat dengan teknik. Misalnya, penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan kata lain, metode deskriptif tersebut dapat dikatakan juga sebagai teknik deskriptif.

PENELITIAN DESKRIPTIF
Metode deskripsi adalah suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Whitney (1960) berpendapat, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu, sehingga banyak ahli meamakan metode ini dengan nama survei normatif (normatif survei). Dengan metode ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan memilih hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Karenanya mentode ini juga dinamakan studi kasus (status study).
Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-standar sehingga penelitian ini disebut juga survei normatif. Dalam metode ini juga dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antarfenomena. Studi demikian dinamakan secara umum sebagai studi atau penelitian deskritif. Perspektif waktu yang dijangkau, adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Ciri-ciri Metode Deskriptif:
·         Untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.(secara harafiah)
·         Mencakup penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental.
·         Secara umum dinamakan metode survei.
·         Kerja peneliti bukan saja memberi gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi
o        menerangkan hubungan,
o        menguji hipotesis-hipotesis
o        membuat prediksi, mendapatkan makna, dan
o        implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan
o        Mengumpulkan data dengan teknik wawancara dan menggunakan schedule qestionair/interview guide.

JENIS-JENIS PENELITIAN DESKRIPTIF
Ditinjau dari segi masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu, penelitian ini dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:
·         Metode survei,
·         Metode deskriptif berkesinambungan (continuity descriptive),
·         Penelitian studi kasus
·         Penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas,
·         Penelitian tindakan (action research),
·         Peneltian perpustakaan dan dokumenter.

KRITERIA POKOK METODE DESKRIPTIF
Metode deskriptif mempunyai beberapa kriteria pokok, yang dapat dibagi atas kriteria umum dan khusus. Kriteria tersebut sebagai berikut:
1.      kriteria umum
o        Masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak terlalu luas.
o        Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum
o        Data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan merupakan opini.
o        Standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus mempunyai validitas.
o        Harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian dilakukan.
o        Hasil penelitian harus berisi secara detail yang digunakan, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta serta study kepustakaan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya dengan kerangka teoritis yang digunakan jika kerangka teoritis untukitu telah dikembangkan.
2.      Kriteria Khusus
o        Prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai (value).
o        Fakta-fakta atupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai masalah status
o        Sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu, tidak ada kontrol terhadap variabel, dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau manupulasi terhadap variabel. Variabel dilihat sebagaimana adanya.

LANGKAH-LANGKAH UMUM DALAM METODE DESKRIPTIF
Dalam melaksanakan penelitian deskripif, maka langkah-langkah umum yang sering diikuti adalah sebagai berikut:
1.      Memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang ada.
2.      Menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan. Tujuan dari penelitian harus konsisten dengan rumusan dan definisih dari masalah.
3.      Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.
4.      Merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji baik secara eksplisit maupun implisit.
5.      Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data, gunakan teknik pengumpulan data yang cocok untuk penelitian.
6.      Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan. Kuranggi penggunaan statistik sampai kepada batas-batas yang dapat dikerjakan dengan unit-unit pengukuran yang sepadan.
7.      Memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi sosial yang ingin diselidiki serta dari data yang diperoleh dan referensi khas terhadap masalah yang ingin dipecahkan.
8.      Mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan serta hipotesis-hipotesis yang ingin diuji. Berikan rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan yang dapat ditarik dari penelitian.
9.      Membuat laporan penelitian dengan cara ilmiah.
Pada bidang ilmu yang telah mempunyai teori-teori yang kuat, maka perlu dirumuskan kerangka teori atau kerangka konseptual yang kemudian diturunkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis untuk diverivikasikan. Bagi ilmu sosial yang telah berkembang baik, maka kerangka analisis dapat dijabarkan dalam bentuk-bentuk model matematika.

PENELITIAN HISTORIS (HISTORICAL RESEARC)
Tujuan penelitian histories adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memferivikasi, serta mensistensiskan bukti-bukti untukmenegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Seringkali penelitian yang demikian itu berkaitan dengan hipotesis-hipotesis tertentu.
Contoh penelitian histories adalah studi mengenai praktek “bawon” di daerah pedesaaan di Jawa Tengah, yang dimaksud memahami dasar-dasarnya diwaktu yang lampau serta relevansinya untuk waktu kini; studi ini dimaksudkan juga untuk mentest hipotesis bahwa nilai-nilai social tertentu serta rasa solidaritas memainkan peranan penting dalam berbagai kegiatan ekonomi pedesaan. Ciri yang menonjol dari penelitian histories adalah:
1.      Penelitian histories lebih bergatung pada data yang diobservasi orang lain dari pada yang diobsevasi oleh peneliti sendiri. Data yang baik akan dihasilkan oleh kerja yang cermat yag menganalisis keotentikan, ketepatan, dan peningnya sumber-sumbernya.
2.      Berlainan dengan anggapan yang popular, penelitian haruslah tertib ketat, sistematis, dan tutas; seringakali penlitian yang dikatakan sebagai suatu penelitiaan histories hanyalah koleksi informasi-informasi yang tak layak, tak reliable, dan berat sebelah.
3.      Penelitian histories tergantung kapada dua macam data, yaitu primer dan datasekunder. Data primer dipoleh dari sumberprimer, yaitu si peneliti (peneliti) secara langsung meakukan observasi atau menyaksikan kejadian-kejadian yang dituliskan. Dan data sekunder diperoleh dan sumber skunder, yaitu peneliti melaporkan hasil obsevasi orang lain yang satu kali atau lebih telah lepas dari kejadian aslinya. Dianatara kedua sumber itu, sumber primer dipandang sebagai memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama, dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.
4.      Untuk menentukan bobot data, biasa dilakukan dua macam kritik, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menanyakan dokumen relic itu otentik, sedang kritik internal menanyakan apabila data itu otentik, apabila data otentik, apabila data tersebut akurat dan relevan. Kritik internal harus menguji motif, keberat sebelahan, dan keterbatasan si penulis yang mngkin melebih-lebihkan atau mengabaikan sesuatu da memberikan informasi yang terpalsu. Evaluasi kritis inilah yang menyebbkan penelitian histories itu sangat tertib-ketat, yang dalam bayak hal lebih disbanding dari pada studi eksperimental.
5.      Walaupun penelitian histories mirip dengan penelaahan kepustakaan yang mendahului lain-lain bentuk rancangan penelitian, namun cara pendekatan histories adalah tuntas, mencari informasi dan sumber yang lebih luas. Penelitian histories jga menggaliinformasi-informasi yang lebih tua dari pada yang umum dituntut dalam penelaahan kepustakaan, dan banyak juga menggali bahan-bahan tak diterbitkan yang tak dikutip dalam bahan acuan yang standar.
Langkah Pokok Untuk Melaksanakan Penlitian Histories Atau Rancangan Penelitian Historis
Definisi masalah. Ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada diri sendiri:
1.      Rumusan tujuan penelitian dan jika mungkin, rumuskan hipotesis yang akan memberi arahdan focus bagi kegiatan penelitian itu.
2.      Kumpulan data, denganselalu mengingat perbedaan anatara sumber primer dan sumber sekunder.
3.      Suatu keterampilan yangsangat penting dalam penelitian histories adalah cara pencatatan data: dengan system kartu atau dengan system lembaran, kedua-duanya dapat dilakukan.
4.      Evaluasi data yng diperoleh dengan melakukan kritik eksternal dan kritik internal.

RANCANGAN EX POST FACTO
Penelitian dengan rancangan ex post facto sering disebut dengan after the fact. Artinya, penelitian yang dilakukan setelah suatu kejadian itu terjadi. Disebut juga sebagai restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Dalam pengertian yang lebih khusus, (Furchan, 383:2002) menguraikan bahwa penelitian ex post facto adalah penelitian yang dilakukan sesudah perbedaan-perbedaan dalam variable bebas terjadi karena perkembangan suatu kejadian secara alami.
Penelitian ex post facto merupakan penelitian yang variabel-variabel bebasnya telah terjadi perlakuan atau treatment tidak dilakukan pada saat penelitian berlangsung, sehingga penelitian ini biasanya dipisahkan dengan penelitian eksperimen. Peneliti ingin melacak kembali, jika dimungkinkan, apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya sesuatu.

PERBANDINGAN ANTARA EX POST FACTO
DENGAN EKSPERIMEN
Dalam beberapa hal, penelitian ex post facto dapat dianggap sebagai kebalikan dari penelitian eksperimen. Sebagai pengganti dari pengambilan dua kelompok yang sama kemudian diberi perlakuan yang berbeda. Studi ex post facto dimulai dengan dua kelompok yang berbeda kemudian menetapkan sebab-sebab dari perbedaan tersebut. Studi ex post facto dimulai dengan melukiskan keadaan sekarang, yang dianggap sebagai akibat dari faktor yang terjadi sebelumnya, kemudian mencoba menyelidiki ke belakang guna menetapkan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya.
Penelitian ex post facto memiliki persamaan dengan penelitian eksperimen. Logika dasar pendekatan dalam ex post facto sama dengan penelitian eksperimen, yaitu adanya variabel x dan y. Kedua metode penelitian tersebut membandingkan dua kelompok yang sama pada kondisi dan situasi tertentu. Perhatiannya dipusatkan untuk mencari atau menetapkan hubungan yang ada di antara variabel-variabel dalam data penelitian. Dengan demikian, banyak jenis informasi yang diberikan oleh eksperimen dapat juga diperoleh melalui analisis ex post facto.
Dalam penelitian eksperimen, pengaruh variabel luar dikendalikan dengan kondisi eksperimental. Variabel bebas yang dianggap sebagai penyebab dimanipulasi secara langsung untuk meminimalkan pengaruh terhadap variabel terikat. Melalui eksperimen, peneliti dapat memperoleh bukti tentang hubungan kausal atau hubungan fungsional di antara variabel yang jauh lebih menyakinkan daripada yang dapat diperoleh menggunakan studi ex post facto.
Peneliti dalam penelitian ex post facto tidak dapat melakukan manipulasi atau pengacakan terhadap variabel-variabel bebasnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan dalam variabel-variabelnya sudah terjadi. Peneliti dihadapkan kepada masalah bagaimana menetapkan sebab dari akibat yang diamati tersebut. Furchan (383:2001) menyatakan bahwa dengan tidak adanya kemungkinan peneliti untuk melakukan manipulasi atau pengacakan.
Contoh perbedaan antara penelitian ex post facto dengan eksperimen adalah sebagai berikut. Sebuah penelitian berjudul Pengaruh Kecemasan Siswa pada Waktu Mengerjakan Ujian Terhadap Hasil Ujian Mereka dapat didekati dengan dua metode, yaitu eksperimen dan eks post facto.
PENDEKATAN EKSPERIMEN
Dalam judul di atas terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam judul di atas adalah kecemasan siswa dan ujian nasional. Variabel terikatnya adalah hasil ujian.
Ciri dari penelitian eksperimen adalah adanya manipulasi terhadap variabel bebas. Dari kondisi di atas, variabel bebas dapat dimanipulasi menjadi cemas dan tidak cemas. Konkritnya, sebuah kelas terdiri dari kelas A dan B. Masing-masing kelas dimanipulasi kondisinya menjadi kelas A menjadi kelas yang cemas, sementara kelas B menjadi kelas yang netral (pengendali).
Pengkondisian kelas dapat dilakukan dengan memberikan sugesti kepada kelas A bahwa ujian yang diberikan akan berpengaruh terhadap kenaikan kelas. Artinya, siswa yang memiliki nilai yang rendah bisa dimungkinkan tidak naik kelas. Sementara kelas B dikondisikan netral. Dengan pengertian bahwa ujian di kelas B hanyalah untuk mengukur kemampuan pemahaman terhadap suatu kompetensi tanpa adanya pengaruh dari hasil dengan kenaikan kelas.
Setelah kelas sudah terkondisikan, maka diberikan soal dengan tingkat kuantitas dan kualitas kesulitan yang sama. Pada waktu yang bersamaan, lembar jawaban dikumpulkan bersama dan dilakukan pengoreksian terhadap hasil jawab dari kelas A dan B. Apabila terjadi perbedaan nilai, semisal, nilai kelas A lebih tinggi daripada kelas B, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kecemasan ternyata mampu meningkatkan nilai ujian. Anggapan lain, bahwa dengan adanya kecemasan membuat siswa semakin berpacu untuk mendapatkan yang terbaik.

PENDEKATAN EX POST FACTO
Hal penting dalam pendekatan ex post facto adalah tidak adanya manipulasi terhadap variabel. Dalam kasus di atas, dapat didekati dengan ex post facto dengan melihat situasi kelas A dan B yang sebelumnya tidak diadakan manipulasi. Artinya, kelas tersebut berjalan secara alami. Misalnya, hasil ujian kelas A dan B menunjukkan perbedaan dari satu siswa ke siswa lainnya. Dari hasil tersebut, dilakukan klasifikasi antara siswa yang memiliki nilai tinggi dengan siswa yang memiliki nilai rendah. Kemudian dihubungkan antara kecemasan dengan hasil nilai. Misalnya ditemukan kesimpulan bahwa nilai di atas rata-rata dikerjakan oleh siswa yang memiliki kecemasan. Oleh karena itu, pengaruh kecemasan siswa memang berpengaruh terhadap hasil ujian, yaitu menjadi lebih baik.
Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini tentu saja memiliki kekurangan. Dari kasus di atas dapat terlihat satu celah kelemahan bahwa bisa jadi adanya faktor ketiga selain kecemasan yang membuat nilai ujian meningkat. Hal ini dimungkinkan adanya faktor ketiga, yaitu kecerdasan. Selain kecemasan, bisa dimungkinkan bahwa kecemasan adalah situasi lain, sedangkan kecerdasan menjadi penunjang utama.

Kekurangan Pendekatan Ex Post Facto
Pendekatan ex post facto memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.
Tidak adanya kontrol terhadap variabel bebas.
Oleh karena tidak adanya kontrol terhadap variabel bebas, maka sukar untuk memperoleh kepastian bahwa faktor-faktor penyebab yang relevan telah benar-benar tercakup dalam kelompok faktor-faktor yang sedang diselidiki.
1.      Kenyataan bahwa faktor penyebab bukanlah faktor tunggal, melainkan kombinasi dan interaksi antara berbagai faktor dalam kondisi tertentu untuk menghasilkan efek yang disaksikan, menyebabkan soalnya sangat kompleks.
2.      Suatu gejala mungkin tidak hanya merupakan akibat dari sebab-sebab ganda, tetapi dapat pula disebabkan oleh sesuatu sebab pada kejadian tertentu dan oleh lain sebab pada kejadian lain.
3.      Apabila saling hubungan antar dua variabel telah diketemukan, mungkin sukar untuk menentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.
4.      Kenyataan bahwa dua, atau lebih, faktor saling berhubungan tidaklah mesti memberi implikasi adanya hubungan sebab akibat.
5.      Menggolongkan-golongkan subjek ke dalam kategori dikotomi (misalnya golongan pandai dan golongan bodoh) untuk tujuan perbandingan, menimbulkan persoalan-persoalan, karena kategori-kategori itu sifatnya kabur, bervariasi, dan tak mantap.
6.      Studi komparatif dalam situasi alami tidak memungkinkan pemilihan subyek secara terkontrol. Menempatkan kelompok yang telah ada yang mempunyai kesamaan dalam berbagai hal kecuali dalam hal dihadapkannya kepada variabel bebas adalah sangat sukar.

Keunggulan Penelitian dengan Pendekatan Ex Post Facto
Metode ini baik untuk berbagai keadaan kalau metode yang lebih kuat, yaitu metode eksperimental, tak dapat digunakan. Apabila tidak selalu mungkin untuk memilih, mengontrol, dan memanipulasikan faktor-faktor yang perlu untuk menyelidiki hubungan sebab akibat secara langsung. Apabila pengontrolan terhadap semua variabel kecuali variabel bebas sangat tidak realistik dan dibuat-buat, yang mencegah interaksi normal dengan lain-lain variabel yang berpengaruh.
Apabila control di laboratorium untuk berbagai tujuan penelitian adalah tidak praktis, terlalu mahal, atau dipandang dari segi etika diragukan atau dipertanyakan. Studi kausal-komparatif menghasilkan informasi yang sangat berguna mengenai sifat-sifat gejala yang dipersoalkan: apa sejalan dengan apa, dalam kondisi apa, pada perurutan dan pola yang bagaimana, dan sejenis dengan itu. Perbaikan-perbaikan dalam hal teknik, metode statistik, dan rancangan dengan kontrol parsial, pada akhir-akhir ini telah membuat studi kausal komparatif itu lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Sumber:  http://lubisgrafura.wordpress.com/metode-penelitian-kuantitatif/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENDIDIKAN DI NORWEGIA



Kebijakan pendidikan Norwegia berakar pada prinsip kesamaan hak terhadap pendidikan bagi semua anggota masyarakat, tanpa memperhitungkan latar belakang sosial dan budaya atau tempat tinggal.  Merupakan peranan sekolah untuk menyampaikan pengetahuan dan budaya, serta memajukan mobilitas sosial dan memberikan dasar penciptaan kesejahteraan bagi semua pihak.  Kegiatan mengajar di sekolah Norwegia diadaptasikan dengan kemampuan dan keahlian masing-masing siswa. Pendidikan khusus tersedia bagi penyandang catat tubuh atau mereka yang membutuhkan perhatian khusus, yang jika tidak dipenuhi maka tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan mengajar sekolah umum. Sebagai akibat dari meningkatnya imigrasi, maka jumlah siswa yang memiliki bahasa minoritas juga bertambah. Kebijakan pendidikan Norwegia mengatur perhatian bagi kebutuhan khusus akan siswa dengan latar belakang bahasa minoritas, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atas dengan baik dan melanjutkan ke perguruan tinggi serta kemudian bekerja.
Storting (majelis nasional Norwegia) dan Pemerintah bertanggung jawab menentukan tujuan dan menetapkan kerangka kerja anggaran untuk sektor pendidikan. Menteri Pendidikan dan Penelitian merupakan agen administratif yang bertanggung jawab terhadap hal-hal pendidikan, dan menerapkan kebijakan pendidikan nasional. Norwegia memiliki sistem sekolah yang seragam dan berdasarkan pada standar umum. Kurikulum nasional telah diperkenalkan untuk memastikan bahwa standar pendidikan pemerintah dipenuhi.
Pendidikan wajib di Norway adalah 10 tahun, terdiri dari primary, lower secondary dan upper secondary. Pejabat pendidikan di tingkat daerah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sekolah yang layak dapat diakses oleh anak, kaum muda dan dewasa di semua kotamadya dan daerah. Kotamadya bertanggunga jawab menjalankan primary dan lower secondary, sementara upper secondary dikelola oleh tingkat daerah.
Sektor pendidikan tinggi terdiri dari program pendidikan di universitas dan akademi. Biaya mengikuti program ini umumnya tergantung pada penyelesaian tiga tahun pendidikan upper secondary. Dengan pengecualian pada beberapa institusi yang dijalankan swasta, semua institusi pendidikan tinggi dikelola oleh Negara. Namun, tiap institusi memiliki otonomi akademis dan administratif.
Pendidikan umum di Norwegia tidak dikenakan biaya hingga dan termasuk tingkat upper secondary. Biaya pendidikan tinggi di semua institusi Negara umumnya tidak mahal. Bantuan Pinjaman Pendidikan Negara didirikan pada tahun 1947, dan memberikan pinjaman pada siswa dan bantuan untuk biaya hidup bagi mereka yang mengikuti program pendidikan tinggi. Bantuan juga diberikan pada siswa Norwegia yang ingin melanjutkan sebagian kegiatan belajarnya di luar negeri.
Sekolah swasta memberikan sistem tambahan dari sistem sekolah umum. Direktorat Pendidikan mengawasi sekolah menengah dan lanjutan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Program akademis di sekolah swasta harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan terkait. Sekolah swasta yang telah diotorisasi berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BIROKRASI IMMORAL



Berbicara tentang birokrasi Indonesia tentunya kita harus jujur bahwa birokrasi kita bak penyakit kanker stadium 4 (empat). Setidaknya ini yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo dalam Kompas.com (27/2/12). Dengan melihat fakta dan realita di lapangan mestinya kita memang tidak bisa bohong, inilah wajah birokrat kita, mulai dari istilah penyakit budaya Korupsi, pungli (pungutan liar), rekening gendung birokrat muda, nepotisme dalam birokrasi, birokrasi amplop, birokrasi mal praktek, tukang bolos, uang plicin, berbelit-belit, tidak transparan, lamban dan lain sebagainya.
Prinsip dasar dan karakteristik birokrasi yang digagas Max Weber (Max Weber; 1946) pertama kali seperti kerja yang ketat pada peraturan, jabatan yang hirarki, kaku dan sederhana, berdasarkan logika, tersentralistis, spesialisasi, terstruktur tanpa pandang bulu, dan lain sebagianya. Ternyata prinsip ideal yang dikemukakan Weber ini tidak mampu memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya.
Pengaruh nilai dan praktek pemerintah kolonial Belanda juga masih berpengaruh sampai sekarang, bagaimana turunan mental korupsi dan feodalisme masih terasa sampai sekarang di dalam tubuh birokrasi kita. Dalam sejarah kita percaya bahwa akibat runtuhnya perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC (Veneredgede Oost Indesche Compagnie) pengaruh yang paling besar adalah akibat korupsi para pejabatnya, nah inilah yang mungkin kita rasakan ketika para pejabat publik kita saat ini yang sangat gemar melakukan praktek penyelewangan ini. Begitu juga budaya feodal yang masih kental terasa dalam elit birokrasi kita, adanya jenjang kelas yang harus dilalului dalam proses pelayanan publik, ada kelompok atau individu yang dipandang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi, adanya gila hormat di kalangan para petinggi birokrat, birokrasi itu abdi-dalem dan dalam strata sosial rakyat tak lebih adalah wong cilik.
Kita juga merasakan ketika para administrator publik melakukan praktek pelayanan publik yang kaku, rumit, berbelit-belit, sangat hirarki adalah cerminan pengaruh pemerintahan hindia belanda. Kita lihat saja KUHP yang kita pakai sekarang adalah produk Belanda. Atau pemberlakuan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atau pajak lainya sebenarnya itu juga adalah warisan Belanda yang dahulu disebut pajak sewa tanah. Namun terlepas dari pengaruh penjajahan tersebut, tentunya kita harus mampu bangkit setelah puluhan tahun kita terlepas dari belenggu penjajahan. Reformasi Birokrasi yang digembor-gemborkan dan dilakukan selama ini pasca reformasi ternyata belum mampu menghasilkan birokrasi yang bersih dan baik. Ini terbukti ketika sekarang masih saja kita terbelenggu oleh jeratan dan budaya korupsi yang semakin bervariasi dan kreatif.
Wajah Kelam Birokrasi Indonesia
Kerja yang lamban, kaku, tertutup, dan koruptif masih melingkupi birokrasi di Indonesia. Persoalan birokrasi di Indonesia sekarang ini ibarat gajah di pelupuk mata yang tidak kelihatan. Karena saking kusutnya, bangsa ini sendiri tidak bisa lagi mengenal, sebelum orang lain mengingatkannya. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyebut kinerja birokrasi Indonesia merupakan yang terburuk kedua di Asia setelah India, adalah salah satu contohnya.
Buruknya pelayanan birokrasi ini sesungguhnya sudah merupakan penyakit menahun di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi, berulangkali pemantau internasional menobatkan negeri ini dengan prestasi buruk, namun kinerja aparatur penyelenggara negara itu bergeming sedikit pun. Tidak hanya uang negara yang habis untuk membayar upah para pegawai negara itu, harga diri Indonesia juga tercoreng di mata dunia karena ulah para birokrat yang tak becus itu.
Permasalahan birokrasi Indonesia saat ini tidak lepas dari rendahnya kualitas SDM aparat birokrasi, semangat kerja dan kesadaran atas tugas dan tanggung jawab yang rendah, kurangnya pemahaman atas fokus tujuan dari tugasnya, lemahnya fungsi koordinasi, organisasi birokrasi yang sangat gemuk, masih tingginya budaya korupsi, dan pemahaman yang rendah atas tugasnya sebagai pelayan publik.
Sedikit kilas balik birokrasi Indonesia. Pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya, sudah dikenal konsep birokrasi serta pembagian tugas. Namun demikian, raja masih dianggap yang paling berkuasa dan menentukan.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, seseorang dapat menduduki jabatan pegawai pemerintahan Hindia Belanda harus menjalani magang (pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pegawai, bila perlu mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang modern, yakni Indonesia pasca proklamasi, birokrasi menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Penting karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga yang paling penting untuk membentuk negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Selanjutnya era Orde Baru, birokrasi memainkan peranan yang sangat sentral. Karena dominannya peran birokrasi, maka partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja. Akibatnya, segala sesuatu saat itu terkesan lamban, kaku, dan tertutup.
Di era reformasi, demokrasi yang merupakan bentuk pemerintahan yang dicita-citakan di seluruh dunia mulai tumbuh di Indonesia. Seiring dengan itu, birokrasi yang memiliki berbagai macam dasar moral di dalamnya, seperti keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas musyawarah, dan prinsip perbaikan juga mulai tumbuh.
Namun, sifat-sifat dan pemahaman negatif di zaman sebelumnya, seperti lamban, kaku, tertutup, dan koruptif masih tetap tertinggal. Buktinya, seperti disebutkan di atas, birokrasi Indonesia ditempatkan oleh survei PERC sebagai yang terburuk kedua di Asia. Indikasi buruknya birokrasi di Indonesia ini juga ditemukan IFC (International Finance Corporation), terutama dalam kemudahan berusaha seperti membuka usaha, mendaftarkan properti, mengakses pinjaman, pembayaran pajak, hingga kepatutan terhadap kontrak kerja.
Menurut PERC, birokrasi di Indonesia tidak efektif, berbelit-belit, dan rawan korupsi. Secara keseluruhan, hasil survei itu menunjukkan Singapura dan Hong Kong sebagai negara dengan sistem birokrasi yang paling efisien di Asia. Kemudian berturut-turut di bawahnya, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Malaysia, China, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan India.
Kegagalan tersebut menurut PERC, selain Indonesia belum bisa meningkatkan efisiensi birokrasi, juga kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menggulirkan reformasi birokrasi yang harus dibayar mahal dengan pengunduran diri Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Menanggapi predikat tersebut pemerintah sendiri mengakui telah gagal mereformasi birokrasi. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pemangkasan birokrasi dan revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dari segi ekonomi, pengamat ilmu administrasi negara yang juga guru besar FISIP UI Eko Prasodjo seperti dilaporkan harian Media Indonesia (10/6/2010) memperkirakan, Indonesia mengalami kerugian sekitar 30% dari APBN dan APBD setiap tahun akibat buruknya manajemen birokrasi. Dia mengaku tidak heran pada hasil survei PERC tersebut.
Pendapat lebih tegas disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, semua presiden Indonesia gagal mereformasi birokrasi. “Semua presiden gagal menepati janjinya dalam memperbaiki birokrasi,” ujarnya. Kegagalan tersebut menurutnya, karena instansi-instansi yang ada masih terbelenggu masa lalu.
Melihat persoalan birokrasi sekarang ini, maka jika birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat berfungsi baik, birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun posisi itu tidak dapat sepenuhnya dicapai, paling tidak birokrasi semestinya mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum yang lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarakat”.
Sejalan dengan itu, Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan lainnya. Dengan hasil survei PERC baru-baru ini, bangsa ini pun diharapkan bisa tersadarkan bahwa penyakit menahun itu masih ada di hadapan dan perlu pengobatan.
Rekomendasi
Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan lainnya.
Moralitas birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi antara lain adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga ada proses  check and balance. Masyarakat seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Kemudian perlu adanya perampingan birokrasi agar birokrasi lebih efektif dan efisien serta untuk mencegah bertambahnya pegawai yang melakukan korupsi.
Perlu adanya peningkatan pemberian pelayanan publik kepada masyarakat terutama kepada masyarakat miskin melalui penguatan dukungan, komitmen, dan keinginan yang tegas dari semua instansi/lembaga terkait termasuk lembaga penegak hukum.
Dalam perumusan kebijakan, pejabat administrasi negara perlu untuk lebih memperhatikan kepentingan umum (public interest). Pemerintah seharusnya terus melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel, transparan, responsive, efektif dan efisien.
Dan hal yang terpenting adalah mewujudkan reformasi birokrasi oleh segenap elemen negara, terutama mengutamakan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembanguna politik secara tulus dan penuh kesadaran dari setiap individu.
Sumber:  http://hikmawansp.wordpress.com/2012/07/10/birokrasi-immoral/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS