KEBIJAKAN BANTUAN PENDIDIKAN

-->
ABSTRAKSI

            Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi suatu bangsa. Karena perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dapat diukur melalui tingkat dan kualitas pendidikan serta tingkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan dan orang miskin memang tidak ada biaya untuk pendidikan dikarenakan lebih mengutamakan biaya untuk makan.


BAB I
PENDAHULUAN

            Krisis global semakin membuat kehidupan yang sudah sulit menjadi semakin rumit bahkan telah menjadi suatu dilema dan masalah klasik yang tidak pernah kunjung selesai. Permasalahan yang kian nampak dan semakin menjadi-jadi adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia yang berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan yang dapat dirasakan oleh mereka. Terkait dengan kemiskinan ini, publikasi dari BPS tanggal 2 Juli 2007, menyebutkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 mencapai 37,17 juta (16,58 persen). Dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin bulan Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75 persen). Badan Pusat Statistik memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia pada 2010 mencapai 234,2 juta atau naik dibanding jumlah penduduk 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa ( KOMPAS.com Rabu, 23 Juni 2010). Dari data jumlah penduduk tersebut angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini mencapai 31 juta jiwa (data ini masih menjadi perdebatan karena BPS dinilai telah memanipulasi data jumlah penduduk miskin). Sebanyak 78 persen di antaranya hidup di daerah Jawa dan Sumatera (Kompas.com Selasa 13 Juli 2010). memang jumlah penduduk miskin mengalami penurunan. Angka-angka tersebut adalah manifestasi dari kemiskinan yang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan penduduk suatu negara. Kemiskinan itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar sekolah. Sehingga sudah dapat dipastikan masyarakat akhirnya terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.
            Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskankan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
            Perintah UUD 1945 ini diperkuat oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kaya maupun miskin. Namun, dalam realitasnya, sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada tahun 2008 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.     Landasan Teori
            Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.
Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ”yang kaya” maupun ”yang miskin” dan masyarakat perkotaan maupun pedesaan (terpencil). Kurang meratanya pendidikan di Indonesia terutama akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk menanganinya.
            Di dalam pemerataan akses pendidikan bagaimana pentingnya setiap warga memproleh persamaan dalam memproleh pendidikan tanpa diskriminasi. Hal ini didasari oleh Critical Theory (Teori Kritis) yang memiliki esensi adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.
            Teori Kritis merupakan salah suatu perspektif teoritis yang dipelopori oleh Jurgen Habermas dan bersumber pada berbagai pemikiran yang berbeda seperti pemikiran Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein dan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran-pemikiran berbeda tersebut disatukan oleh sebuah orientasi atau semangat teoretis yang sama, yakni semangat untuk melakukan emansipasi. Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
            Melalui Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945, bahwa  setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, tentunya sudah jelas bahwa pemerataan akses pendidikan yang diharapkan masyarakat miskin selama ini yang sulit mendapat tempat di hati para aktor-aktor kebijakan, sudah terealisasikan sejak dahulu. Namun, dalam kenyataannya masih banyak rakyat miskin yang buta huruf dan sangat sulit sekali memproleh pendidikan yang layak.
            Di dalam salah satu Poverty Theory (Teori Kemiskinan), yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu dijelaskan bahwa ketidaksetaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Dan teori kemiskinan Struktural, yang menjelaskan bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Selain itu juga, ada teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.
            Pada intinya dari ketiga teori kemiskinan di atas adalah proses kemiskinan itu timbul akibat sikap individu dan masyarakatnya sendiri yang cenderung tidak produktif atau konsumtif dan struktur sosial dari pembuat kebijakan tersebut lah yang menyebabkan kemiskinan. Oleh karena itu, di dalam menanggulangi kemiskinan diperlukan adanya perubahan pola-pola kebiasaan masyarakat yang selama ini tidak kondusif ke arah yang lebih berwawasan yang mampu mengembangkan skill dan kemampuanya dengan membimbing dan mengarahkanya, serta merubah tuntunan struktural undang-undang yang berlaku dalam hal formulasi dan imlementasinya lebih nyata dan terarah sesuai tujuan. Dan di dalam memperolehnya, salah satunya adalah dengan menciptakan pelayanan akses pendidikan yang merata bagi segenap rakyat dan persamaan dalam hal memprolehnya dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM).
            Dalam mengembangkan kebijakan pendidikan yang mampu dirasakan oleh rakyat miskin maka harus diperhatikan adalah bagaimana pendidikan itu mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Sehingga diperlukanlah membangun sistem pendidikan yang demokratis. Dalam Democracy Theory (Teori Demokrasi) mengajarkan bahwa anggota masyarakat mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah (government) melakukan apa yang dikehendaki oleh rakyat, setidak-tidaknya pemerintah menghindarkan diri dari apa yang tidak dikehendaki oleh anggota masyarakat.Teori yang digagas oleh JJ. Rousseau (Abad XIX) ini memiliki tujuan mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya. Dan pada prinsipnya Teori Demokrasi bercita-cita membangun pendidikan bagi seluruh masyarakat.

1.      Dasar Pemerataan Pendidikan di Indonesia
            Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
            Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh.
            Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan program BOS untuk pendidikan dasar. Hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.
            Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) mengamanatkan, antara lain: 1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti, 2) meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, olah raga dan seni.
            Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
            Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
            Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.
           
2.      Membangun Sistem Pendidikan Demokratis.
            Impian pendidikan berkualitas hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan keinginan daripada kenyataan .
            Konsep sistem pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-nilai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus yaitu pengemasan komponen-komponen tertentu dari sistem pendidikan tersebut mislanya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses belajar mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi.
Dalam mengembangkan sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu memperhatikan tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur-prosedur yang demokratis dan mencerminkan pandangan serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut:
a.       mengutamakan kepentingan masyarakat,
b.      tidak memaksakan kehendak kepada orang lain,
c.       mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama,
d.      musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan,
e.       memiliki i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah,
f.        musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur,
g.       keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.



BAB III
PEMBAHASAN
           
A.     Deskripsi Masalah
            Masalah pendidikan untuk rakyat miskin muncul dikarenakan berbagai faktor seperti, kecenderungan meningkatnya biaya pendidikan, pembiayaannya ditanggung sendiri dalam sistem tunai. Menurut data Susenas 2003, masih tingginya angka putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan itu lebih banyak bersumber pada persoalan ekonomi, karena banyak di antara anak-anak usia sekolah dasar itu berasal dari keluarga miskin. Kenaikan biaya pendidikan semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan pendidikan dan karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan pendidikan ini.
      Karakteristik masalah sosial (Edi Suharto) adalah sebagai berikut :
1.      Kondisi yang dirasakan oleh banyak orang
            Pada tahun 2008 pemerintah mendata bahwa ada sekitar 19,1 juta rumah
tangga atau 76,4 juta rakyat miskin yang memerlukan bantuan sosial.
  1. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan
Tidak bersekolah atau putus sekolah dan miskin tentunya merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan atau tidak mengenakan.
  1. Kondisi yang menuntut pemecahan
Suatu yang tidak menyenangkan senantiasa menuntut adanya pemecahan masalah. Seperti halnya Masalah pendidikan untuk rakyat miskin. Umumnya suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan jika masyarakat merasa bahwa kondisi tersebut memang dapat dipecahkan.
  1. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif
            Masalah sosial berbeda dengan masalah individual. Masalah individual dapat diatasi secara individual, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekaya sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang. Kemiskinan merupakan permasalahan  kemanusiaan purba. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun. Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan (kurang pendidikan), ketelantaran, kematian dini. Permasalahan buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya: mengapa kemisikinan masih menjadi bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini? (Edi Suharto)
            Badan Pusat Statistik memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia pada 2010 mencapai 234,2 juta atau naik dibanding jumlah penduduk 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa ( KOMPAS.com Rabu, 23 Juni 2010). Dari data jumlah penduduk tersebut angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini mencapai 31 juta jiwa (data ini masih menjadi perdebatan karena BPS dinilai telah memanipulasi data jumlah penduduk miskin). Sebanyak 78 persen di antaranya hidup di daerah Jawa dan Sumatera (Kompas.com Selasa 13 Juli 2010).
            Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskankan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
            Perintah UUD 1945 ini diperkuat oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kaya maupun miskin. Namun, dalam realitasnya, sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada tahun 2008 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

1.      Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
            Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah.
            Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini perlu ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
            Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial.
            Di Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’.
            Di samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan. Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya: fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap teknologi.
            Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini – bila perbaikan hidup masyarakat yang lebih banyak ini yang menjadi sasaran kita dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas; lebih efektif dan cepat – kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilisasi sumber-sumber lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.
            Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal
1.1.  Pemerataan Pendidikan Formal
           Pada jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.
            Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
            Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas,  sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
            Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
            Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi.
            Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
            Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu.
1.2.   Pemerataan Pendidikan Nonformal
            Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
            Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

2.      Kebijakan yang Telah Ada
a.      Wajib Belajar 9 Tahun
            Negeri ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
b.      Kompensasi BBM untuk pendidikan
            Diantara program pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia yaitu dengan mengurangi subsidi pemerintah terhadap BBM. Dana subsidi tersebut selanjutnya digunakan untuk program beasiswa kepada siswa-siswi yang kurang mampu dan berprestasi.

c.       Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
            Salah satu program di bidang pendidikan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan tujuan membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban bagi siswa yang lain dalam rangka mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Melalui program ini, pemerintah pusat memberikan dana kepada sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orangtua siswa. BOS diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.

d.      Program Keluarga Harapan (PKH)
            Program keluarga Harapan (PKH) merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan. Kedudukan PKH merupakan bagian dari program-program penanggulangan kemiskinan lainnya. PKH berada di bawah koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), baik di Pusat maupun di daerah. Oleh sebab itu akan segera dibentuk Tim Pengendali PKH dalam TKPK agar terjadi koordinasi dan sinergi yang baik.
            Penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun (usia sekolah) dan/atau ibu hamil/nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada RTSM yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program.
            Agar penggunaan bantuan dapat lebih efektif diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan). Untuk itu, pada kartu kepesertaan PKH akan tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Pengecualian dari ketentuan di atas dapat dilakukan pada kondisi tertentu dengan mengisi formulir pengecualian di UPPKH kecamatan yang harus diverifikasi oleh ketua RT setempat dan pendamping PKH. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pedoman Operasional.
            Pemerataan pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang pembangunan Negara. Pemerataan pendidikan ini belum dilakukan secara merata terutama di kalangan masyarakat miskin. Pendidikan di Indonesia yang relatif mahal dan mayoritas penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan membuat pendidikan itu tidak merata dikalangan masyarakat miskin. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa  yang meharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

3.      Mengembangkan Kebijakan Pendidikan yang Demokratis
            Peran negara dalam bidang pendidikan di negara demokrasi seharusnya bersifat akomodatif terhadap kepentingan warga negaranya di bidang pendidikan. Namun peran negara dalam bidang pendidikan bisa saja dilaksanakan dalam rangka melegitimasi dan mempertahankan status-quo. Upaya ini biasanya dilakukan merasuk dalam sistem pendidikan dalam hidden curriculum. Atau menurut Michael W. Aplle politik kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembaga – lembaga pendidikan (Tilaar, 2003 : 145). Tentang bagaimana perubahan peran negara dalam pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
            Di era reformasi dan globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kekuasaan negara melemah di desak oleh kekuasaan ekonomi. Indikasinya bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
            Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis. Meskipun pemerintah dikritik bahkan didemo oleh masyarakat yang keberatan, tetapi kebijakan itu tetap berlangsung. Pemerintah dalam hal ini tampak tidak berdaya menghadapi para pemilik modal.
            Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII/MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN. Ironisnya DPR dan partai politik tidak ada yang protes.
            Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum memiliki political will untuk memprioritaskan pendidikan untuk perbaikan ekonomi dan sumber daya manusia. Sesungguhnya telah banyak bukti seperti dinyakatan Lauritz-Holm Nielson (Lead Specialist for Higher Education, Science and Technology the World Bank) pada acara International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta bahwa pendidikan tinggi merupakan kunci terpenting dalam pembangunan ekonomi secara global. Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu negara. Selanjutnya Nielson menyatakan di negara – negara maju, investasi di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 % dari total anggaran litbang seluruh dunia. Di India, Brasil, Cina, dan negara-negara Asia Timur lainnya, anggaran litbangnya mencapai 11 % dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa 4 % yang dibagi oleh negara – negara sedang berkembang. Dalam kondisi dana litbang yang sangat minim di negara sedang berkembang, Nielson melihat negara –negara sedang berkembang tidak memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas keuntungan kompetitif negaranya.
            Begitu pula dewasa ini partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan mulai cenderung memiliki orientasi bisnis yang kuat. Tidak mudah bagi mereka yang berada pada level menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di sekolah swasta. Partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajib belajarpun masih memprihatinkan. Misalnya bisa dilihat indikatornya masih banyaknya usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004 menurut Depdiknas dari 13 juta anak usia 13 – 15 tahun atau usia SMP yang belum tertampung masih sekitar 2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket belajar belum mampu mengatasi anak yang belum tertampung. Karena baru sekitar 245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK (Tempat Kegiatan Belajar) di bawah naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih diperparah sekitar 97 % pelajar SMP terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan faktor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di tempat tinggal mereka (Kompas, 19 Juli 2004).
            Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak demokratis. Misalnya, antara lain tampak dengan dikembangkannya Kurikulum 2004 (Kurikukulum Berbasis Kompetensi), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Komite Sekolah. Hal ini merupakan upaya penerapan secara konkrit otonomi pendidikan. Tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak sinkron dengan otonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi kewenangan akademik guru dan daerah. Coba bandingkan dengan negara tetangga Vietnam yang menganut sistem politik otoriter, tetapi dalam hal penentuan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah menyelenggarakan ujian berdasarkan standar nasional.
            Disamping itu dilihat dari segi cakupan kompetensi yang diuji dalam UAN dinilai tidak valid, karena hanya mengungkap aspek kognitif. Hal ini dinilai telah mereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK yang mengharuskan ketiga aspek kompetensi yakni kognitif, afektif dan psikomotorik untuk dievaluasi.
            Di berbagai daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih enggan untuk melaksanakan ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Oleh karena itu dewasa ini biaya pendidikan dirasakan oleh masyarakat semakin relatif mahal. Meskipun pengeluaran penduduk untuk pendidikan di Indonesia (tahun 2001 – 2002) masih rendah yakni 1,3 % dari total PDB sebesar 662,9 miliar dollar AS. Pada sisi lain banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari layak. Sementara itu rakyat tidak banyak bisa berbuat banyak untuk mempengaruhi perumusan kebijakan pendidikan.
            Muchtar Bukhori salah seorang pakar pendidikan Indonesia menilai” Kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya bisa ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti. (Kompas, 4 September 2004). Padahal kondisi daerah di Indonesia dilihat dari sisi SDM-nya sangat kompleks. Maka tidak mengherankan apabila banyak terjadi kejanggalan, misalnya daerah yang SDA-nya tinggi tetapi SDM-nya rendah. Papua, Kalimantan Tengah dapat dicontohkan dalam kasus ini. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
            Kesenjangan di atas, apabila tidak segera dilakukan pembuatan kebijakan pendidikan yang jelas orientasinya dapat memicu disintegrasi. Orientasi kebijakan pendidikan yang diperkirakan dapat memperkuat integrasi nasional adalah meningkatkan mutu SDM dan pemerataannya di daerah. Pengembangan SDM menjadi kebutuhan mendesak, karena dibandingkan dengan negara tetangga masih rendah (lihat Tabel. 1 di bawah ini).
Dengan demikian kebijakan pemerintah pusat lebih pada pengendalian mutu, sedangkan daerah diberikan keluasan untuk secara kreatif mengembangkan berbagai kebijakan teknis yang dianggap tepat dengan berpedoman pada mutu standar nasional.

4.      Pilihan-Pilihan Kebijakan
            Untuk mewujudkan pendidikan yang murah bagi kalangan miskin, ada beberapa langkah kongkrit dan strategis yang bisa diambil seperti ;
a)      Janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang bermutu harus bisa diakses dan dinikmati oleh segenap komponen anak bangsa secara adil dan merata. Dan, negara harus menanggung sepenuhnya segala biaya pendidikan mereka. Mereka harus dibebaskan dari beban biaya pendidikan.
b)      Pengalokasian anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah harus fokus pada bagaimana anggaran 20% bisa direalisasikan dengan nyata dan konsisten. UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
c)      Guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
d)      Dengan program pendidikan murah dan berkualitas bagi masyarakat, termasuk bisa dinikmati masyarakat miskin, maka hak asasi sosial ekonomi-budaya bisa dipenuhi. Negara pun bisa mewujudkan program MDGs (millennium development goals) untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, sekaligus memenuhi tujuan negara sesuai
Pembukaan UUD 45 alinea keempat.
e)      Asuransi pendidikan komersial bagi masyarakat miskin yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi swasta yang polisnya dibayar atau ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Manfaat dari asuransi pendidikan komersial ini adalah agar semua rakyat miskin dapat bersekolah disemua tempat baik itu milik pemerintah maupun milik swasta

            Analisis pembiayaan pendidikan berbasis subsidi silang. Artinya, pihak-pihak yang memang mampu (perusahaan, masyarakat, orangtua, dan lainnya) layaklah diminta untuk memberikan kontribusi besar/banyak ke pendidikan (CSR pendidikan), sementara mereka yang tidak mampu harus disubsidi dari uang kontribusi mereka yang mampu. Dengan kata lain, dunia pendidikan kita harus semakin adil demi peningkatan mutu, adil di mata pemerintah, sekolah, dan masyarakat.

BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
            Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Dengan berpedoman pada Critical Theory, Poverty Theory dan  Democracy Theory kebijakan pendidikan diusung untuk membentuk pemerataan akses dan persamaan hak dalam memperoleh pendidikan.
  2. UUD 1945 mengamanatkan bahwa Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut.
  3. Pendidikan menjadi salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu.
  4. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Walaupun pemerintahsudah mengadakan perogram sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM.
  5. Pendidikan di Indonesia yang relatif mahal dan mayoritas penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan membuat pendidikan itu tidak merata dikalangan masyarakat miskin
  6. Pemerataan pendidikan yang ada saat ini masih kurang terealisasikan dengan baik. Permasalahannya yaitu karena pendidikan itu sendiri masih berorientsi di wilayah perkotaan dan subsidi dari pemerintah itu pun masih belum mencukupi untuk masyarakat yang tidak mampu yang jumlahnya cukup besar.
  7. Dalam mengembangkan kebijakan pendidikan untuk masyarakat miskin dibentuklan sistem pendidikan yang lebih demokratis.
  8. Tanggung jawab dalam mengatasi masalah pendidikan untuk rakyat miskin bukan saja terletak pada pemerintah, namun merupakan tanggung jawab kita bersama termasuk dari kalangan dunia usaha/swasta.

B.     Rekomendasi
  1. Kepada pemerintah baik pusat maupun daerah hendaknya dapat benar-benar menerapkan anggaran 20% untuk pendidikan dan bisa direalisasikan dengan nyata serta konsisten. UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
  1. Pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa dikenai biaya itupun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
  2. Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang standar Biaya Operasional Pendidikan. Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu.
  3. Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi.
  4. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil.


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)
Ki Supriyoko. 2004. “Meningkatkan Profesionalisme Membangun Citra Guru di Indonesia”,  p. 1.
Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Bandung: Alfabeta.
Tilaar, H.A.R. (2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
T. Sulistyono, Drs. M.Pd.,MM. 2003. Wawasan Pendidikan. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
http://asmalaizza.wordpress.com/2009/05/25/pemerataan-akses-pendidikan-bagi-masyarakat-miskin-dan-masyarakat-terpencil/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/09/pendidikan-untuk-rakyat-miskin/
http://endar-prasetio.blogspot.com/2010/01/teori-demokrasi-mengajarkan-bahwa.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis
http://kompas.com/rabu, 23 Juni 2010
http://qedo40.blogspot.com/p/kebijakan-pendidikan-dan-pendidikan.html
http://testat08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/pemerataan-akses-pendidikan-masyarakat-miskin-sebagai-solusi-pembangunan-di-indonesia/
http://www.goodreads.com/story/show/23985-kemiskinan-teori-data-vs-realita
http: //www.yahoo.com,1 September 2004
http://weare8i.blogspot.com/2009/06/teori-demokrasi_10.html
id.netlog.com/ArifNoer/blog/blogid=5682
Harian Kompas, 4 September 2004

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar