Berbicara tentang birokrasi Indonesia
tentunya kita harus jujur bahwa birokrasi kita bak penyakit kanker stadium
4 (empat). Setidaknya ini yang disampaikan oleh Wakil Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo dalam
Kompas.com (27/2/12). Dengan melihat fakta dan realita di lapangan mestinya
kita memang tidak bisa bohong, inilah wajah birokrat kita, mulai dari istilah
penyakit budaya Korupsi, pungli (pungutan liar), rekening gendung
birokrat muda, nepotisme dalam birokrasi, birokrasi amplop, birokrasi mal
praktek, tukang bolos, uang plicin, berbelit-belit, tidak transparan,
lamban dan lain sebagainya.
Prinsip dasar dan karakteristik
birokrasi yang digagas Max Weber (Max Weber; 1946) pertama kali seperti kerja yang
ketat pada peraturan, jabatan yang hirarki, kaku dan sederhana, berdasarkan
logika, tersentralistis, spesialisasi, terstruktur tanpa pandang bulu, dan lain
sebagianya. Ternyata prinsip ideal yang dikemukakan Weber ini tidak mampu
memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi
sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya.
Pengaruh nilai dan praktek pemerintah kolonial
Belanda juga masih berpengaruh sampai sekarang, bagaimana turunan mental
korupsi dan feodalisme masih terasa sampai sekarang di dalam tubuh birokrasi
kita. Dalam sejarah kita percaya bahwa akibat runtuhnya perusahaan dagang
Hindia Belanda, VOC (Veneredgede Oost Indesche Compagnie) pengaruh yang paling
besar adalah akibat korupsi para pejabatnya, nah inilah yang mungkin
kita rasakan ketika para pejabat publik kita saat ini yang sangat gemar
melakukan praktek penyelewangan ini. Begitu juga budaya feodal yang masih
kental terasa dalam elit birokrasi kita, adanya jenjang kelas yang harus
dilalului dalam proses pelayanan publik, ada kelompok atau individu yang
dipandang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi, adanya gila hormat
di kalangan para petinggi birokrat, birokrasi itu abdi-dalem dan dalam strata
sosial rakyat tak lebih adalah wong cilik.
Kita juga merasakan ketika para
administrator publik melakukan praktek pelayanan publik yang kaku, rumit,
berbelit-belit, sangat hirarki adalah cerminan pengaruh pemerintahan hindia
belanda. Kita lihat saja KUHP yang kita pakai sekarang adalah produk Belanda.
Atau pemberlakuan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atau pajak lainya sebenarnya
itu juga adalah warisan Belanda yang dahulu disebut pajak sewa tanah. Namun
terlepas dari pengaruh penjajahan tersebut, tentunya kita harus mampu bangkit setelah
puluhan tahun kita terlepas dari belenggu penjajahan. Reformasi Birokrasi yang
digembor-gemborkan dan dilakukan selama ini pasca reformasi ternyata belum
mampu menghasilkan birokrasi yang bersih dan baik. Ini terbukti ketika sekarang
masih saja kita terbelenggu oleh jeratan dan budaya korupsi yang semakin
bervariasi dan kreatif.
Wajah Kelam Birokrasi Indonesia
Kerja yang lamban, kaku,
tertutup, dan koruptif masih melingkupi birokrasi di Indonesia . Persoalan birokrasi
di Indonesia
sekarang ini ibarat gajah di pelupuk mata yang tidak kelihatan. Karena saking
kusutnya, bangsa ini sendiri tidak bisa lagi mengenal, sebelum orang lain
mengingatkannya. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
menyebut kinerja birokrasi Indonesia
merupakan yang terburuk kedua di Asia setelah India , adalah salah satu contohnya.
Buruknya pelayanan birokrasi ini
sesungguhnya sudah merupakan penyakit menahun di Indonesia . Sejak zaman Orde Baru
hingga Reformasi, berulangkali pemantau internasional menobatkan negeri ini
dengan prestasi buruk, namun kinerja aparatur penyelenggara negara itu
bergeming sedikit pun. Tidak hanya uang negara yang habis untuk membayar upah
para pegawai negara itu, harga diri Indonesia juga tercoreng di mata
dunia karena ulah para birokrat yang tak becus itu.
Permasalahan birokrasi Indonesia
saat ini tidak lepas dari rendahnya kualitas SDM aparat birokrasi, semangat
kerja dan kesadaran atas tugas dan tanggung jawab yang rendah, kurangnya
pemahaman atas fokus tujuan dari tugasnya, lemahnya fungsi koordinasi,
organisasi birokrasi yang sangat gemuk, masih tingginya budaya korupsi, dan
pemahaman yang rendah atas tugasnya sebagai pelayan publik.
Sedikit kilas balik birokrasi Indonesia .
Pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya, sudah dikenal konsep
birokrasi serta pembagian tugas. Namun demikian, raja masih dianggap yang
paling berkuasa dan menentukan.
Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, seseorang dapat menduduki jabatan pegawai pemerintahan Hindia Belanda
harus menjalani magang (pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi
atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana
para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pegawai, bila perlu
mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang modern, yakni Indonesia
pasca proklamasi, birokrasi menjadi suatu organisasi atau institusi yang
penting. Penting karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau
lembaga yang paling penting untuk membentuk negara adalah pemerintah, sedangkan
personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Selanjutnya era Orde Baru, birokrasi memainkan
peranan yang sangat sentral. Karena dominannya peran birokrasi, maka
partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja. Akibatnya,
segala sesuatu saat itu terkesan lamban, kaku, dan tertutup.
Di era reformasi, demokrasi yang
merupakan bentuk pemerintahan yang dicita-citakan di seluruh dunia mulai tumbuh
di Indonesia .
Seiring dengan itu, birokrasi yang memiliki berbagai macam dasar moral di
dalamnya, seperti keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia,
adanya aturan hukum yang pasti, asas musyawarah, dan prinsip perbaikan juga
mulai tumbuh.
Namun, sifat-sifat dan pemahaman
negatif di zaman sebelumnya, seperti lamban, kaku, tertutup, dan koruptif masih
tetap tertinggal. Buktinya, seperti disebutkan di atas, birokrasi Indonesia ditempatkan oleh survei PERC sebagai
yang terburuk kedua di Asia . Indikasi buruknya
birokrasi di Indonesia ini juga ditemukan IFC (International Finance
Corporation), terutama dalam kemudahan berusaha seperti membuka usaha,
mendaftarkan properti, mengakses pinjaman, pembayaran pajak, hingga kepatutan
terhadap kontrak kerja.
Menurut PERC, birokrasi di Indonesia tidak
efektif, berbelit-belit, dan rawan korupsi. Secara keseluruhan, hasil survei
itu menunjukkan Singapura dan Hong Kong sebagai negara dengan sistem birokrasi
yang paling efisien di Asia . Kemudian
berturut-turut di bawahnya, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Malaysia,
China, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan India.
Kegagalan tersebut menurut PERC,
selain Indonesia belum bisa meningkatkan efisiensi birokrasi, juga kegagalan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menggulirkan reformasi birokrasi yang
harus dibayar mahal dengan pengunduran diri Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Menanggapi predikat tersebut
pemerintah sendiri mengakui telah gagal mereformasi birokrasi. Bahkan, Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pemangkasan birokrasi dan revisi UU No
32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dari segi ekonomi, pengamat ilmu
administrasi negara yang juga guru besar FISIP UI Eko Prasodjo seperti
dilaporkan harian Media Indonesia (10/6/2010) memperkirakan, Indonesia
mengalami kerugian sekitar 30% dari APBN dan APBD setiap tahun akibat buruknya
manajemen birokrasi. Dia mengaku tidak heran pada hasil survei PERC tersebut.
Pendapat lebih tegas disampaikan
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, semua presiden Indonesia gagal mereformasi birokrasi. “Semua
presiden gagal menepati janjinya dalam memperbaiki birokrasi,” ujarnya.
Kegagalan tersebut menurutnya, karena instansi-instansi yang ada masih
terbelenggu masa lalu.
Melihat persoalan birokrasi sekarang ini, maka
jika birokrasi sebagai “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat
berfungsi baik, birokrasi seharusnya berada dalam posisi netral. Kalaupun
posisi itu tidak dapat sepenuhnya dicapai, paling tidak birokrasi semestinya
mempunyai kemandirian sebagai lembaga yang tetap tegak membela kepentingan umum
yang lebih meningkatkan diri sebagai “abdi masyarakat”.
Sejalan dengan itu, Indonesia harus membangun
birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena
birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan lainnya.
Dengan hasil survei PERC baru-baru ini, bangsa ini pun diharapkan bisa
tersadarkan bahwa penyakit menahun itu masih ada di hadapan dan perlu
pengobatan.
Rekomendasi
Moralitas birokrasi pemerintahan
merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan
terus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah dalam
menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya
masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada
masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk
memberantas korupsi antara lain adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai
pengawas atau pengontrol, sehingga ada proses check and
balance. Masyarakat seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya
pemberantasan korupsi. Kemudian perlu adanya perampingan birokrasi agar
birokrasi lebih efektif dan efisien serta untuk mencegah bertambahnya pegawai
yang melakukan korupsi.
Perlu adanya peningkatan
pemberian pelayanan publik kepada masyarakat terutama kepada masyarakat miskin
melalui penguatan dukungan, komitmen, dan keinginan yang tegas dari semua
instansi/lembaga terkait termasuk lembaga penegak hukum.
Dalam perumusan kebijakan,
pejabat administrasi negara perlu untuk lebih memperhatikan kepentingan umum (public
interest). Pemerintah seharusnya terus melakukan reformasi birokrasi
dengan menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam
penyelenggaraan pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel,
transparan, responsive, efektif dan efisien.
Dan hal yang terpenting adalah
mewujudkan reformasi birokrasi oleh segenap elemen negara, terutama
mengutamakan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum,
strategi pembangunan ekonomi dan pembanguna politik secara tulus dan penuh
kesadaran dari setiap individu.
Sumber: http://hikmawansp.wordpress.com/2012/07/10/birokrasi-immoral/
0 komentar:
Posting Komentar