Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Dalam Idul Fitri juga ditandai
dengan adanya “mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia .
Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka
memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru,
mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah). Maklum saja karena
perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana
sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai
dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak
saudara dan kerabat?!
Idul Fitri atau kembali ke
fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan
terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama
manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.
Nah, dengan momentum Idul Fitri
ini kita mari jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain
dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri,
kedua orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi
kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan
dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau
istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi
disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Orang yang memutuskan
kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini
tidak akan masuk surga.
Namun, Idul Fitri selalu membuatku kesepian. Yah. Kesepian karena tak dapat mudik seperti yang lainnya, tak bisa berkumpul dengan keluarga. Empat tahun sudah aku tak dapat bersungkemban dengan kedua orang tuaku. Mereka ada di Jogja. Sedangkan aku di Wamena, Papua. Sedih memang. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada yang menggantikan semua itu, tak ada pula yang menghapus kesedihan serta kesendirianku ini. Tak seorangpun.
Suasana di rumah ini pun, tak
ada yang special. Semua terasa biasa
saja. Hanya saja, bedanya banyak makanan
yang banyak dan enak. Tak ada makna
lain.
Akankah makna lebaran di sini selamanya akan seperti ini?!! Aku harap jangan. Karena ini menyedihkan.
Tubuh ini pun kian runtuh dengan
banyaknya kegiatan dalam kehidupanku.
Tak ada kata istirahat, tak ada hentinya untuk berkata capek. Aku ingin semuanya berakhir. Atau setidaknya, bisa menghapus makna yang
buruk ini di sini. Untukku, dan untuk
semuanya yang tinggal di sini.
0 komentar:
Posting Komentar