7 KUNCI POKOK SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Ini berarti bahwa antara pengertian hukum dengan pengertian kekuasaan dipertentangkan. Karena bila melihat negara yang semata-mata mengandalkan kekuasaan belaka sudah barang tentu tidak memperhatikan hukum. Maksudnya, agar kata-kata penguasa tidak sewenang-wenang, perlu dibatasi oleh hukum.
Tetapi perlu diwaspadai, hukum yang dibuat oleh penguasa boleh jadi menguntungkan penguasa itu sendiri dalam arti melindungi penguasa tetapi menjerat rakyat banyak. Oleh karena itu, untuk membuat hukum harus diserahkan kepada perwakilan rakyat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, yaitu wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dalam pemilihan umum yang bebas dari rekayasa.
2. Sistem Konstitusional
Pemerintah Indonesia berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolute (kekuasaan yang tidak terbatas). Slogan ini hendaknya diwujudkan dalam keadaan nyata di lapangan, karena supremasi hukum di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa banyak perkara yang tidak bisa diusut dan kemudian hilang begitu saja. seperti perkosaan sum Kuning, pembunuhan Udin Syafrudin, Marsinah, Cecep Tajudin, guru mengaji di Banyuwangi, peledakan bom di rumah ibadah, provokator kerusuhan Ambon, dalang Poso dan Sambas.
Lembaga MPR, Presiden, DPR, BPK, dan MA perlu dipisahkan dengan tegas (separation of power) kekuasaannya yang selanjutnya akan menimbulkan cheking power with power. Karena bila hanya dibagi-bagi (distribution of power) akan terjadi kolusi antara lembaga legislative sebagai pengawas dengan lembaga eksekutif yang harus diawasi, sebagaimana kerja sama satpam dengan maling.
Lembaga DPA yang selama ini tidak intensif penyelenggaraannya cukup dijadikan penasihat presiden yang diangkat oleh presiden, dengan demikian tidak perlu diberi kata “Agung” dan tidak lagi termasuk lembaga tinggi negara.
3. Kekuasaan Negara yang Tertinggi Di Tangan MPR
Mengapa Bung Karno sempat dinyatakan sebagai presiden seumur hidup dan Pak Harto menjadi presiden berturut-turut selama tujuh kali? Apakah karena orang-orang yang duduk di MPR bersifat penjilat atau Presiden yang menunjuk orang yang duduk di dalam MPR dikondisikan demikian?
MPR dibentuk dari DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan. Utusan daerah sendiri pernah diisi oleh para gubernur, panglima, rector yang kesemuanya notabene adalah bawahan presiden. Begitu juga para utusan golongan diangkat dari menteri, yang langsung menjadi bawahan presiden. Itu pun ditambah dengan terlibatnya istri dan anak menteri menjadi anggota DPR, yang kemudian tentu juga menjadi anggota MPR.
Oleh karena itu, pada Pemilihan Umum 2004, MPR dibuat dari anggota DPR ditambah dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang diantisipasi terlibatnya orang-orang dari pemerintah pusat di dalamnya.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan Negara tertinggi di bawah DPR
Walaupun sedang dipersiapkan pemilihan presiden langsung, tetapi presiden tetap menjadi mendataris MPR, Karena MPR yang akan membuat GBHN dan Tap MPR sebagai perwujudan kebijaksanaan rakyat untuk dijalankan presiden. Selain itu, pertanggungjawaban kepada rakyat langsung akan menimbulkan anarkisme ketika demokrasi bebas diterapkan. Dan sebaliknya akan menimbulkan rekayasa kekuatan massa mendukung presiden bila hendak mempertahankan kekuasaan.
Presiden mengangkat sumpah di hadapan MPR dan lembaga tinggi negara lainnya dengan disaksikan seluruh lapisan rakyat Indonesia melalui siaran langsung yang diadakan dalam Sidang Umum MPR terbuka untuk umum.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
System pemerintahan Indonesia tidak parlementer, itulah ayng diperlihatkan oleh ketentuan tersebut di atas. Namun karena presiden bertanggung jawab kepada MPR, sementara di dalam MPR ada anggota DPR maka sebenarnya system pemerintahan ini juga tidak presidensial, karena DPR dapat meminta MPR bersidang. Sebagaimana yang terjadi pada Presiden KH. Abdurrahman Wahid, setelah Panitia Khusus DPR RI mengajukan memorandum I dan II kasus Bruneigate dan boluggate di bawa ke sidang Istimewa MPR, inilah kemudian yang melahirkan impeachment.
6. Menteri adalah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR
Para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden tidak sepatutnya berlindung di bawah ketiak presiden, karena harus mendengarkan sungguh-sungguh suara DPR. Presiden dan dewan menterinya tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan DPR.
Suara-suara sumbang dalam masyarakat tentang perilaku menteri dapat membuat DPR membuat panitia khusus (pansus) untuk mengusutnya. Hal ini bukan berate menggiring cabinet dari presidensial menjadi parlementer, tetapi karena DPR menyuarakan hati nurani rakyat. Karena para menteri dibiayai dari uang rakyat yang dipungut lewat pajak dan retribusi maka pengawasan dari legislative terhadap eksekutif diperlukan.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Absolutisme kita kenal sebagai istilah kekuasaan tak terbatas. Oleh karena itu, untuk menciptakan demokrasi, sebagai imbangan istilah tersebut, dikenallah istilah “tidak tak terbatas”.
Bila DPR diancam dengan recall (pemanggilan kembali oleh partai yang mengutusnya karena presiden merasa keberatan) maka akan membuat anggota DPR 7D (datang, duduk, diam, duit, dengar, dengkur, dan dosa). Hal ini membuat sulit pengawasan karena anggota legislative yang nama lainnya adalah parlemen harus sering menyampaikan suara-suara kritik.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi
1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.
0 komentar:
Posting Komentar